Oleh: Eddy Ngganggus
Inilah daftar silsilah kebodohan.
Kebodohan melahirkan kerusakan etik, kerusakan etik melahirkan empat kerusakan yaitu kerusakan hukum, kerusakan demokrasi, kerusakan sosial,
Kerusakan alam. Kerusakan hukum melahirkan kekacauan, kekacauan melahirkan kemiskinan, kemiskinan melahirkan kelaparan, kelaparan melahirkan kembar dua kerusakan yakni penyakit dan kematian.
Dari kebodohan hingga kematian ada lima generasi dengan gennya masing-masing. Tiap-tiap generasi memiliki kekudusannya eh… kerusakannya masing-masing.
Maksud hati merangkul kebodohan, bukan untuk merawatnya, atau memeliharanya namun untuk menjinakannya biar tidak terlanjur liar dan membuat kerusakan yang lebih luas. Karena sepandai-pandainya ia yang bodoh, integritasnya akan melengkung dalam rangkulan .
Kita memang mesti berpisah dengan kebodohan tanpa perlu mengucapkan selamat tinggal , karena ia memang sudah layaknya ditinggalkan. Hanya yang patut di pertahankan saja yang layak mendapat ucapan selamat tinggal. Mengapa ? Karena ucapan selamat hanya diberikan kepada mereka yang punya nilai tambah. Buktinya tidaklah pernah ucapan selamat diberikan kepada orang yang apes, kecuali itu untuk tujuan mengejek atau sindir.
Jangan menghukum orang benar. Karena mencari alasan untuk menghukumnya mungkin bisa di dapat,
mencari pendukung untuk turut bersama menyeretnya mungkin juga bisa dapat, menyetel APH agar turut menghukum itu mungkin mudah, tetapi menghentikan dampak dan kenangan serta jejak baiknya mustahil.
Raganya bisa menjadi mayat, tetapi kenangan baiknya takan mungkin jadi mayat, ia akan terus hidup dalam ingatan.
Menghukum orang benar itu, ibarat menebang pohon beringin menggunakan silet. Luka namun tidak menumbangkan.
Sebaliknya memelihara orang jahat itu seperti memberi makan perampok, setelah kenyang ia akan merampok lagi.
Mungkin kali ini kamu yang di rampok.
Sia-sia menghukum orang baik, sebagaimana sia-sianya menampi terigu di bibir pantai, tidak ada yang tertinggal, selain penampi kosong.
Berhentilah “pukul dada” mendeklear pasti jaya, pasti menang, di tengah keadaan dia yang prestasinya selalu melengkung, tidak tegak lurus seperti kata-katanya adalah sesumbar yang ilusi untuk mempengaruhi pendengar justru membuat usik dan berisik ketimbang puji .
Tubuh sendiri kondisinya mekengkung, namun mau beri contoh bagaimana berdiri tegak tegak yang benar. Apa itu tidak keliru ?
Pinggang lembut seperti ubur-ubur tetapi mau bergaya perkasa seperti elang. Apa itu tidak nekad ?
Sesumbar itu, awal dari kebodohan, mari kita merangkulnya, agar ia jinak dalam rangkulan kita sebelum ia menjadi lebih liar dan membuat lebih amburadul lagi.
Maksud hati memeluk si cerdas apa daya bodoh yang dirangkul. Itulah apes.
Asa rasa ingin menyanjung si cerdas ternyata si bodoh yang berbangga, itulah yang namanya GR ( Gede Rasa).
Kebodohan selalu mengawali krisis.
Tidak sengaja kerja salah saja kena tangkap, apalagi sengaja. Jika sebaliknya apakah si penangkap sudah benar?
Liliba, 15 Januari 2025