Opini  

Bangkit Bersama Kristus: Gereja Dan Panggilan Kasih Membangun Ekonomi Umat Nusa Tenggara Timur

Fransiskus Dora, Asisten Analis Fungsi Pelaksanaan Pengembangan UMKM, Keuangan Inklusif dan Ekonomi Syariah Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi NTT / foto: ist

Oleh: Fransiskus Dora

Asisten Analis Fungsi Pelaksanaan Pengembangan UMKM, Keuangan Inklusif dan Ekonomi Syariah Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi NTT

Provinsi Nusa Tenggara Timur tergolong sebagai daerah yang masih menghadapi tantangan besar dalam penanggulangan kemiskinan.

Hasil kajian Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi NTT bekerja sama dengan LPEM UI pada September 2021, melalui studi berjudul “Analysis of Poverty Profiles and Determinants in NTT Province”, mengungkapkan kenyataan yang menggugah hati, bahwa kemiskinan di NTT tidak hanya mencakup dimensi ekonomi, tetapi juga menyentuh aspek mendasar kehidupan manusia yaitu Pendidikan, Kesehatan, dan Standar Hidup Layak.

Dalam hal Pendidikan, rata-rata lama sekolah penduduk miskin di NTT hanya mencapai 7,63 tahun, yang setara dengan tingkat pendidikan SD-SMP, jauh di bawah rata-rata nasional yang mencapai 8,48 tahun.

Angka Partisipasi Murni (APM) untuk Sekolah Menengah Atas (SMA) di NTT hanya 54,09%, sedangkan rata-rata nasional adalah 61,25%. Di sektor Kesehatan, sekitar 60,46% dari penduduk miskin di NTT memiliki asuransi kesehatan, namun masih banyak yang belum terlindungi oleh sistem asuransi Kesehatan.

Selain itu, hanya 58,41% rumah tangga di NTT yang memiliki akses ke sanitasi layak, lebih rendah dari rata-rata nasional yang mencapai 71,5%. Untuk Standar Hidup Layak, 60,46% rumah tangga di NTT memiliki akses perumahan layak, sementara rata-rata nasional mencapai 80,1%, dan 77,33% rumah tangga di NTT memiliki akses listrik, yang masih lebih rendah dibandingkan dengan angka nasional sebesar 97,8%.

Ketertinggalan ini bahkan masih jauh jika dibandingkan dengan rata-rata nasional yang sebesar 9,71% pada September 2021 untuk tingkat kemiskinan, yang menunjukkan bahwa NTT memiliki tingkat kemiskinan yang hampir dua kali lipat lebih tinggi, yaitu 20,44% pada waktu yang sama

Sebagai provinsi yang masih menghadapi realitas kemiskinan, NTT terus mengandalkan kekuatan spiritual dan kepercayaan akan penyertaan Tuhan dalam setiap langkah Pembangunan. Bukan tanpa alasan jika frasa yang berkembang mengenai “NTT: Nanti Tuhan Tolong” begitu melekat di hati masyarakat.

Ungkapan ini bisa jadi merupakan cerminan masyarakat akan harapan sekaligus ketabahan dalam penantian panjang untuk perubahan NTT yang lebih baik.

Data demografi pemeluk agama di Provinsi NTT juga turut memberikan perspektif yang mungkin dapat menyentuh nurani iman kita, dimana dari total 5,6 juta penduduk NTT pada tahun 2024, sekitar 5 juta jiwa diantaranya adalah umat Kristiani. Dan dari total 1,14 juta jiwa penduduk NTT yang hidup dalam kemiskinan, sebagain besar adalah warga Gereja umat Allah. Di sisi lain, kondisi ekonomi NTT sangat dipengaruhi oleh ketergantungan pada sektor pertanian, dimana 49,6% penduduk miskin NTT berprofesi sebagai petani.

Namun sebenarnya, sektor inilah yang justru menawarkan peluang besar untuk penanggulangan kemiskinan jika dikelola dengan baik. Angka kemiskinan ini bukan sekadar statistik, tetapi menjadi cermin sekaligus panggilan iman.

Jika kelompok ini dianggap sebagai bagian dari mata rantai yang paling lemah, maka merekalah yang justru harus menjadi pusat perhatian dalam semangat persekutuan “putting the last first”, sebagaimana teladan kasih Kristus mengajarkan untuk menjangkau yang kecil, terpinggirkan, dan terlupakan.

Sebagai insan Kristiani, saya terpanggil untuk turut memberikan sumbangsih pemikiran agar bagaimana kondisi ekonomi NTT bisa semakin baik.

Dalam prinsip kesejahteraan bersama (Social Welfare), Iman dan Ekonomi tentu tidak dapat dipisahkan. Iman tanpa ekonomi: cendrung hanya berfokus pada aspek rohani tanpa memperhatikan aspek material dalam kehidupan sehari-hari.

Sebaliknya, Ekonomi tanpa iman: cendrung berfokus hanya pada keuntungan material atau keuntungan duniawi tanpa memperhatikan nilai-nilai moral, etika, atau prinsip-prinsip spiritual. Idealnya, ekonomi musti dibangun di atas nilai-nilai keimanan yang mengajarkan kepedulian terhadap sesama.

Di dalam spirit Iman Kristiani, kasih terhadap sesama menjadi inti dari kehidupan beriman yang menolak kesenjangan ekonomi dan sosial.

Mengentaskan kemiskinan adalah sebuah panggilan yang harus dijawab bersama. Gereja dan pemerintah harus bekerja bersama sebagai mitra sejati dalam mewujudkan kesejahteraan seluruh umat. Dalam dimensi sosio-kultural, keduanya memiliki peran yang saling melengkapi. Pemerintah, melalui formal leader, melihat sekelompok individu sebagai masyarakatnya yang harus diperhatikan. Sementara gereja, melalui informal leader, melihat sekelompok individu sebagai umatnya yang harus digembalakan.

Gereja dan pemerintah selama ini telah memainkan peran penting dalam pengentasan kemiskinan di Nusa Tenggara Timur. Namun tantangan yang semakin kompleks menuntut sinergi dan kolaborasi yang lebih erat, dengan kepekaan dan sense of crisis yang sama terhadap kesulitan-kesulitan yang sedang dialami oleh masyarakat/umat. Sebab kemiskinan di tengah masyarakat juga kemiskinan di tengah umat, dan hanya melalui kerja bersama kita dapat menghadirkan kesejahteraan keduanya.

Dalam semangat persaudaraan dan persekutuan yang dibangun atas kasih Kristus, gereja di Provinsi NTT memiliki potensi dalam mengambil peran melaksanakan panggilan untuk mewujudkan kesejahteraan umat.

Dengan jumlah penduduk Kristen Protestan sekitar 2.05 juta jiwa dan Katolik sekitar 3.05 juta jiwa (BPS:2023), menunjukan bahwa gereja sebenarnya memiliki kekuatan, dengan basis umat yang besar.

Namun, agar panggilan ini dapat terwujud secara nyata, gereja perlu membangun ruang kolaborasi dengan berbagai pihak, baik pemerintah maupun swasta, dalam mewujudkan kesejahteraan ekonomi umat secara berkelanjutan.

Sebagai contoh, Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi NTT bersama segenap Pengurus Majelis Sinode GMIT (Gereja Masehi Injili di Timor) berkomitmen untuk mewujudkan kasih dalam membangun ekonomi umat NTT menjadi lebih sejahtera. Komitmen tersebut ditandai dengan penandatanganan Kerja Sama pemberdayaan ekonomi jemaat/umat, yang telah dilaksanakan pada tanggal 9 Februari 2025 yang lalu. Kerjasama dimaksud bertujuan untuk mengembangkan kapasitas usaha yang dijalankan oleh kelompok jemaat/umat di berbagai sektor seperti pertanian, pariwisata, kuliner, industri pengolahan dan lainnya.

Beberapa contoh program yang saat ini sedang dijalankan oleh kedua entitas tersebut adalah, pendampingan bersama usaha kelompok bawang merah, pendampingan kelompok perikanan air tawar dan pendampingan kelompok Industri pengolahan garam kemasan.

Selanjutnya, untuk membuka akses pasar terhadap produk-produk yang dihasilkan oleh jemaat/umat, GMIT akan menyediakan wadah untuk showcase (toko pangan) untuk kemudian dipasarkan kembali kepada seluruh jemaat/umat gereja. Ini merupakan langkah kongkrit, yang dilakukan Bank Indonesia NTT bersama Gereja untuk membangun ekosistem ekonomi umat (hulu-hilir), dengan harapan besar dapat menjadi best practice untuk direplikasi oleh seluruh gereja di NTT.

Sebagai daerah dengan potensi besar di bidang pertanian, sektor ini telah memberikan kontribusi sebesar 28,87% terhadap total Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) NTT dan 49,1% terhadap penyerapan tenaga kerja (data BPS 2024: diolah KPwBI NTT).

Namun, meskipun kontribusinya besar, optimalisasi sektor pertanian di NTT masih menghadapi tantangan seperti rendahnya produktivitas dan keterbatasan infrastruktur. Melihat potensi dan tantangan sektor pertanian di NTT, gereja bersama pemerintah memiliki peluang strategis untuk berkolaborasi dalam program-program pemberdayaan umat, antara lain: pelatihan, penyuluhan, pemberian modal usaha, fasilitasi pemasaran produk pertanian/olahan pertanian, penyediaan infrastruktur pendukung pertanian, serta peningkatan akses terhadap teknologi pertanian yang modern dan ramah lingkungan. Saya berkeyakinan bahwa, jika gereja di NTT memiliki spirit yang sama, tergerak menjadi inkubator dalam ekosistem pemberdayaan ekonomi jemaat/umat ini, tentu tidak hanya dapat mencapai kemandirian umat itu sendiri, tetapi juga kemandirian bagi gereja.

Inkubasi terhadap suatu aktifitas ekonomi tidak perlu mengejar keuntungan yang berlimpah, tetapi cukup untuk mewujudkan kesejahteraan sosial yang adil, stabil dan merata. Karena ekonomi yang dibangun atas dasar keimanan bukan hanya mengejar pertumbuhan, tetapi juga keberkahan dan kebaikan untuk semua. Sebagaimana firman Tuhan yang disampaikan oleh Nabi Yeremia kepada bangsa Israel: “Usahakanlah kesejahteraan kota ke mana kamu Aku buang, dan berdoalah untuk kota itu kepada TUHAN, sebab kesejahteraannya adalah kesejahteraanmu. (Yeremia 29:7)”. Firman Tuhan ini mengandung makna, bahwa gereja dengan semangat persekutuan umat Allah bisa menjadi agen perubahan yang menggerakkan umat untuk turut serta dalam usaha bersama meningkatkan pertumbuhan ekonomi, menuju NTT yang lebih sejahtera.

Pada akhirnya, kebangkitan Kristus tidak hanya berbicara tentang kemenangan atas kematian, tetapi juga tentang kebangkitan harapan, termasuk bagi mereka yang tertindas oleh kemiskinan. Kini saatnya bagi kita semua, sebagai tubuh Kristus di dunia, mengambil peran aktif dalam setiap karya penebusan sosial, menjadikan “NTT: Nusa Termaju dan Termakmur”.