Oleh: Fransiskus Sandriano
Paus Fransiskus pemimpin tertinggi Gereja Katholik dalam Bullanya yang berjudul Spes Non Confundit (harapan tidak mengecewakan), pada tanggal 9 Mei 2024 yang lalu menetapkan tahun 2025 sebagai tahun Yubileum dalam Gereja.
Ketetapan itu kemudian diresmikan secara khusus oleh Paus Fransiskus pada 24 Desember 2025 yang ditandai dengan membuka pintu suci Basilika St. Petrus. Pintu suci menjadi tanda paling kuat dari Yubileum, karena tujuan utama dari peziarah adalah melewatinya. Paus Fransiskus membuat tema besar “peziarah pengharapan” sebagai sebuah kesempatan bagi seluruh umat Allah untuk berjumpa dengan Kristus, yang adalah “Pintu” keselamatan dan sumber pengharapan (Paus Fransiskus, Bulla “Spes Non Confundit”, 09 Mei 2024, Roma, Vatikan: 6).
Senada dengan hal itu, Yesus Kristus menyatakan Diri-Nya sebagai pintu keselamatan dalam injil Yohanes 10:9. Pintu adalah tanda keselamatan. Hal itu pula diumpamakan oleh Yesus dalam injil Lukas 18:25, yakni “lebih baik seekor unta masuk melalui lubang jarum daripada seorang kaya yang masuk ke dalam kerajaan Sorga.” Yubileum sendiri berasal dari bahasa Latin Iubilaeum dari kata “Iubilare” yang artinya menyerukan sukacita (RD. Donnie Migo, Imam Keuskupan Maumere, 29 Maret 2025, Maumere, Ritapiret).
Selain itu Yubileum juga berasal dari bahasa Ibrani “jobel” artinya tanduk domba jantan yang dipakai sebagai trompet (Katolikpedia.id, 2024).
Di sini trompet bukan hanya dijadikan sebagai alat musik, tetapi pada jaman bangas Israel trompet dijadikan sebagai instrumen untuk berkumpul dan merubuhkan tembok pemisah (Bil, 6:20).
Salah satu makna bagi kita umat Allah dalam sifat gereja adalah koinonia (persektuan) untuk merubuhkan tembok pemisah bagi setiap perbedaan untuk bersatu dalam membangun kebersamaan.
Oleh karena itu dalam Gereja Katholik trompet bukan hanya dijadikan sebagai alat musik, tetapi sebagai senjata persekutuan umat Allah dalam membangun kerukunan dalam kebergaman serta membawa sukacita atas keselamatan Allah dalam dunia.
REALITAS PLURALITAS
Tulisan ini mencoba utnuk melihat makna persekutuan dalam konteks kebergaman agama dan budaya. Dalam pergumulan kita di tengah masyarakat, kita tidak dapat menyangkal adanya sebuah realitas kemajemukan (pluralitas).
Pluralisme adalah kesediaan untuk menjunjung tinggi nilai keberagaman dalam masyarakat yang mejemuk. Di tengah pluralitas itu setiap orang dituntut untuk menerima kenyataan bahwa dalam masyarakat ada cara hidup, pandangan, budaya dan keyakinan yang berbeda.
Kemajemukan itu sebagai kekayaan yang harus terus dipertahankan, karena dalam keberagaman itu kita dapat membangun suatu kebersamaan.
Keberagaman tidak akan pernah menghilangkan suatu nilai dari setiap perbedaan, justru akan menambah dan saling melengkapi apabila kita saling menjaga kerukunan.
Salah satu contoh keberagaman di tengah dunia secara umum dan Indonesia secara khusus adalah Agama. Agama menjadi sesuatu yang sangat unik bagi kita.
Karena keunikannya, maka perjumpaan setiap agama akan relatif sangat aktif untuk terciptanya sebuah konflik walaupun setiap agama mengajarkan hal-hal yang benar yakni kerukunan, kasih sayang, dan kebaikan/kepedulian. Namun konflik tetap tidak dapat dibendung oleh para pemeluk agama itu sendiri. Setiap agama berjuang utnuk mempertahankan keunikannya masing-masing.