Catatan Kopong Bunga Lamawuran
PENGALAMAN saya bersentuhan secara langsung dengan nasib guru honorer dimulai pada awal tahun 2017. Waktu itu saya memutuskan berhenti bekerja pada sebuah sekolah swasta di Kota Kupang dan pulang ke tanah kelahiran, Desa Watoone, Kecamatan Witihama, Kabupaten Flores Timur. Saya berjumpa kembali dengan seorang sahabat lama, Lamen (27, bukan nama sebenarnya). Lamen adalah lulusan Universitas PGRI NTT, dan betapa setengah matinya dia sewaktu mencari pekerjaan sebagai pengajar di kabupaten Flores Timur. Alasannya sederhana: universitas itu tidak diakui DIKTI.
Kepala sekolah manapun yang menerima lamaran seorang mahasiswa lulusan universitas ini akan berpikir seribu kali lipat untuk menerimanya bekerja, tentu dengan alasan administrasi. Sama seperti sebagian besar mahasiswa lulusan dari universitas ini, Lamen terus menerus memasukkan lamarannya di banyak tempat. Syukur, pada akhirnya Lamen diterima mengajar pada SD Negeri Oring Bele Gunung. “Gaji saya Rp 300 ribu sebulan,” katanya ketika kami berjumpa. Sekolah itu, tempat di mana Lamen mengabdi selama 1,5 tahun, terletak di lereng Gunung Boleng. Oleh masyarakat setempat, kepadanya disiapkan sebuah rumah tinggal.
Saya membuat perjanjian dengannya, bersepakat mengunjungi sekolah tempatnya mengabdi selama dua hari. Kami berangkat pagi-pagi sekali, dan saya tidak menyangka jika dia melakukan perjalanan mendaki selama hampir dua jam tiap Minggu. Dia belum memiliki kendaraan, dan hati saya kadang perih membayangkan langkahnya kala sendirian mendaki.
Oring Bele Gunung merupakan sebuah dusun terpencil di wilayah Kecamatan Witihama, tampak lebih terisolir lagi karena belum tersentuh PLN. Di tempat itu, kami menempati rumahnya, sebuah bangunan sederhana berdinding bambu yang telah lapuk. Sengnya pun telah karat. Anak-anak datang berkunjung, bermain, dan menemani kami sepanjang hari. Satu ciri khas dusun itu — sebuah paradoks dalam dunia sekarang — adalah ketiadaan listrik PLN. Tanpa bantuan penerangan itu, anak-anak dan para guru merasa kesulitan jika ingin belajar. Alat yang bisa membantu mereka adalah ganset yang dinyalakan pada waktu-waktu tertentu. Bupati Flores Timur, Anton Hadjon, dalam kunjungannya beberapa waktu lalu ke Kota Kupang sempat menegaskan, Kabupaten Flores Timur pada 2018 akan menjadi contoh paling sempurna dari program “Indonesia Terang”. Tentu ucapan ini bisa diukur dengan mengunjungi dusun Oring Bele Gunung ini.
Hari itu, kami sempat berkunjung ke beberapa kawan gurunya, mengobrol sambil minum tuak yang disuguhkan. Seorang guru lelaki, teman minum kami, mengatakan kalau dia pun digaji Rp 300-400 ribu sebulan. Itupun tidak diberikan tiap bulan. Tapi tiga bulan sekali. “Saya sudah 9 tahun mengabdi di sini,” katanya.
Saya membayangkan kehidupannya selama sebulan adalah ujian maha berat. Apalagi lelaki itu telah beristri. “Di sini, kami mengabdi dengan tulus. Tapi kalau tidak diperhatikan, kami sengsara juga,” katanya lagi. Banyak hal yang kami bicarakan, dan kadang saya merasa menyesal karena mengajak mereka mendirikan sebuah komunitas baca di sekolah ini. Kami minum beberapa lama, dan pulang. Besoknya, kami akhirnya mendirikan komunitas baca di tempat itu, Komunitas Bao Langu. Mereka, dua orang guru bergaji Rp 300 ribu itu adalah pendirinya.
Perjalanan saya hanya dua hari itu menyisakan permenungan yang dalam. Begitu banyak guru honorer digaji dengan angka yang sangat tidak manusiawi. Mereka menghabiskan pendidikannya, berusaha bekerja, namun upah yang mereka peroleh pun tidak sebanding dengan keringatnya.
Untuk memahami sikap diam guru honorer di Flores Timur, para lulusan sarjana yang mau kerja begitu saja tanpa adanya kepastian upah yang layak, ada beberapa kemungkinan sekaligus alasan, salah satunya adalah budaya “gelekat” (saya mengulas ini dalam tulisan “Gelekat Lewo dan Kesejahteraan Guru”).
Untuk orang Flores Timur, gelekat (mengabdi, membangun lewo tana/kampung) adalah sebuah konsep mengabdi yang sangat familiar. Orang-orang akan rela mengabdi dengan bayaran sangat rendah, jika pengabdian itu dianggap sebagai gelekat. “Gaji kecil tidak mengapa, asal gelekat,” ujar banyak orang yang saya jumpai dalam hidup saya.
Ibukota Provinsi
Di ibukota provinsi, Kota Kupang, setahun setelah mengunjungi sekolah sahabat saya itu, saya diajak seorang fotografer asal Jakarta mengunjungi sebuah sekolah. Awalnya kami berencana meliput kasus “Topan”, namun karena istri Topan keberatan, kami urungkan niat itu. Topan sendiri adalah seorang warga biasa yang dituduh melakukan pembunuhan. “Kompas telah menulis ‘Polisi Bunuh Polisi’,” kata Donal Husni, fotografer itu.
Akhirnya, kami menerima tawaran Marsel (sopir yang selalu membantu kami) untuk mengunjungi SD Kristen Kuasaet, di Kecamatan Maulafa, Kota Kupang.
Sekolah itu berdiri sekitar tahun 2007. Selama beberapa tahun, sekolah itu masih mendapatkan bantuan dana dari pendiri sekolah dan pihak yayasan.
Namun sejak tahun 2015, pendiri dan yayasan telah lepas tangan. Secara praktis, sekolah itu hidup dan bernafas dari bantuan dana BOS. Kondisi sekolah itu cukup memperihatinkan, karena sebagian dinding sekolah telah bolong. Jendela-jendela pada beberapa kelas hanya dipasang kawat karatan.
Di situ, kami bertemu Herlin Sanu (30), seorang guru perempuan yang digaji Rp 150 ribu sebulan. “Kalau kami mementingkan diri sendiri, kami sudah tidak mengajar lagi,” kata Herlin.
“Kami dibayar maksimal Rp 150 ribu sebulan. Itupun kami peroleh tiga bulan sekali. Kadang tidak dibayar juga. Katanya diputihkan. Kalau kami ego, kami bisa saja keluar. Tapi kalau kami keluar, bagaimana dengan anak-anak?” sambungnya.
Tentu gaji itu tidak akan pernah cukup menghidupinya. Untuk itulah dia membuka sebuah kios dan berjualan usai mengajar. “Saya perempuan,” katanya, “Kebutuhan saya pun lebih banyak dibanding laki-laki. Kalau saya tidak jualan, saya tidak mungkin bertahan. Saya jualan apa saja setelah pulang sekolah. Modal awal usaha saya dapat dari keluarga.” Herlin tentu seorang wanita yang kuat. Dia masih bertahan mengajar di sekolah itu, sampai sekarang. Sedangkan sahabat saya, Lamen, telah memutuskan ke luar NTT. Dia sekarang mengajar di Pulau Borneo. Mereka hanyalah contoh wajah guru honorer di provinsi ini. ♦ fb