Oleh: Fr. M. Yohanes Berchmans, Bhk, M. Pd (*)
Ka SMPK Frateran Ndao
Pengantar
“Karakter bukanlah sesuatu yang kamu miliki sejak lahir dan tidak dapat diubah, seperti sidik jarimu. Itu adalah sesuatu yang tidak kamu miliki sejak lahir dan kamu harus bertanggung jawab untuk membentuknya.” – Jim Rohn
Seiring dengan perkembangan IPTEK (Imu Pengetahuan & Teknologi ) yang begitu cepat disatu sisi, namun sisi lain ada yang mulai tergerus yakni perkembangan IMTAQ (Iman dan Taqwa), teristimewa di kalangan peserta didik generasi Z, yang merupakan generasi emas bangsa Indonesia. Tak bisa di sangkal,bahwa hampir semua satuan pendidikan memiliki keprihatinan yang sama terhadap perubahan sikap, perilaku, tutur kata dan tindakan para peserta didik. Yang paling dominan adalah budaya 5 S (Senyum, Sapa, Salam, Sopan dan Santun), hampir menjadi sesuatu yang langka. Mengapa? Sebab, peserta didik memiliki kecenderungan untuk cuek, apatis, acuh tak acuh, egois, terhadap sesama dan dirinya, sehingga budaya sikap saling menghargai, saling menghormati, kepedulian, rasa simpati, empati, welas asih, perhatian sopan dan santun, terhadap sesama menjadi sangat rendah.
Oleh karena itulah, maka dalam kurikulum merdeka visi pendidikan Indonesia yang muaranya adalah terciptanya profil pelajar pancasila yang: (1) Beriman, bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia, (2) Berkebhinekaan global, (3) Mandiri, (4) Bergotong royong, (5) Bernalar kritis, dan (6) Kreatif. Ke enamnya disebut dengan dimensi profil pelajar pancasila, yang diimplementasikan dan atau diaplikasikan atau di internalisasikan melalui kegiatan: intrakurikuler, kokurikuler (kegiatan Projek P4) dan ekstrakurikuler. Atau dikurikulum 2013 kita kenal dengan sebutan PPK (Penguatan Pendidikkan Karakter) yang muaranya, adalah terciptanya pelajar atau peserta didik yang cerdas dan berkarakter baik. PPK adalah gerakan pendidikan dibawah tanggungjawab satuan pendidikkan, untuk memperkuat karakter peserta didik melalui harmonisasi olah pikir (intelektual), olah hati (etika), olah rasa (estetika), olah raga (kinestetik). Pentinganya pendikar (pendidikkan karakter) ditunjukkan dan dikuatkan dalam profil pelajar pancasila dengan menjadikannya sebagai arah karakter yang dituju dalam pendidikkan diIndonesia.
Pertanyaannya adalah apakah implementasi PPK yang dikuatkan melalui dimensi P3, melalui kegiatan intrakurikuler, kokurikuler dan ekstrakurikuler di sekolah sudah cukup? Jawabannya belum cukup, karena keberhasilan PPK di satuan pendidikkan sangat tergantung dari kolaborasi satuan pendidikkan, dengan orang tua dan masyarakat yang peduli pendidikkan. Tanpa adanya kolaborasi yang baik, niscaya keberhasilan PPK yang dikuatkan melalui P3 dikurikulum merdeka dapat terjadi dengan baik. Mengapa perlu kolaborasi? Pertama: penumbuhan nilai karakter pertama tama dimulai di rumah, melalui kegiatan keteladanan dan pembiasaaan dari para orang tua. Kegiatan keteladan dan pembiasaan ini sangag penting dilakukan di rumah, mengingat rumah atau keluarga adalah institusi informal, tempat anak atau peserta didik belajar untuk pertama kalinya, dengan kedua orang tua sebagai guru pertama dan utama. Ada ungkapan latin, “verba moven, exempla trahunt”: kata kata menggerakan, teladan hidup lebih memikat atau menarik. Demikianlah, rumah atau keluarga adalah sebagai fondasi atau dasar, sebuah bangunan, yakni seorang anak atau peserta didik berdiri kokoh kuat atau bertumbuhkembang dengan baik, kuat atau buruk, rapuh, ada ditangan kedua orang tua. Dan melalui kegiatan keteladanan dan pembiasaan yang baik
inilah, anak atau peserta didik belajar, membaca, dan menulis di pikiran serta hatinya. Selain itu, seorang anak atau peserta didik akan merekam di alam bawah sadarnya, lalui dia belajar meniru dan bisa menjadi karakter, baik atau buruk. Dan dalam konteks ini, sangat tergantung dari pohonnya alias keluarga. Sebab, setiap pohon yang baik, pasti menghasilkan buah yang baik. Sedangkan pohon yang tidak baik, menghasilkan buah yang tidak baik.(Matius 7: 17). Kedua: selain dirumah, penumbuhan karakter juga bisa terjadi di masyarakat atau lingkungan (non formal) di mana seorang anak atau peserta didik hidup dan berada. Dan tentunya juga sama bahwa seorang anak atau peserta didik dapat belajar, membaca dan menulis dihati dan pikirannya dari setiap orang yang ia lihat dan dia jumpainya. Di masyarakat atau lingkungan di luar rumah, dia bisa membandingkan atau mencocokan dengan apa yang dia lihat dan dialami di rumah. Diluar rumah ibarat ia sedang berada di laboratorium hidup karena ia sedang menguji, sekaligus mempraktikan apa yang ia lihat, ia terima dan dia alami di rumah. Oleh karena itu, kualitas pribadi, apakah seorang anak atau peserta didik memiliki karakter yang baik atau tidak, akan ditampakkan atau ditunjukkan di masyarakat. Seorang anak atau peserta didik ibarat tanah, jika tanahnya subur, maka benih akan tumbuh dengan baik, sebab sudah pasti benihnya baik, berupa nilai nilai karakter atau nilai kemanusiaan universal. Ketiga: satuan pendikan, sebagai institusi formal, sebagai tempat terakhir sekaligus pertama untuk “menyempurnakan”, penumbuhan dan pembentukan karakter anak atau peserta didik. Itu artinya satuan pendidikkan tidak mulai dari nol, melain memoles atau “menyempurnakan” apa yang sudah ditumbuhkan oleh para orang tua. Oleh karena itu, sangatlah baik jikalau satuan pendidikan dapat berkolaborasi dengan orang tua, dan masyarakat yang peduli dengan pendidikan generasi Z. Dan dengan berkolaborasi yang baik, dengan orang tua peserta didik, juga masyarakat yang peduli pendidikan, maka hemat saya akan lebh efektif, dalam pembentukkan karakter peserta didik seperti yang diharapkan dapat terwujud.
A. Etimologi Karakter
Secara etimologis, kata karakter (Inggris: character) berasal dari bahasa Yunani, yaitu charassein yang berarti “to engrave” (Ryan dan Bohlin, 1999:5). Kata “to engrave” bisa diterjemahkan mengukir, melukis, memahat, atau menggoreskan (Echols dan Shadily, 1987:214). Dalam Kamus Bahasa Indonesia kata “karakter” diartikan dengan tabiat, sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan yang lain, dan watak.
Secara terminologis, makna karakter dikemukakan oleh Thomas Lickona. Menurutnya karakter adalah “A reliable inner disposition to respond to situations in a morallay good way”. Selanjutnya Lickona menambahkan , “Character so conceived has three interrelated parts: moral knowing, moral feeling, and moral behavior” (Lickona, 1991:51). Menurut Lickona, karakter mulia (good character) meliputi pengetahuan tentang kebaikan, lalu menimbulkan komitmen (niat) terhadap kebaikan dan akhirnya benar-benar melakukan kebaikan. Dengan kata lain, karakter mengacu kepada serangkaian pemikiran (cognitives), perasaan (affectives), dan perilaku (behaviors) yang sudah menjadi kebiasaan (habits).
Berdasarkan pengertian di atas dapat dipahami bahwa karakter identic dengan akhlak, sehingga karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang universal yang meliputi seluruh aktivitas manusia, baik dalam rangka berhubungan dengan Tuhan-nya, dengan dirinya, dengan sesama manusia, maupun dengan lingkungannya yang terwujud dalam pikiran, perasaan, dan perkataan serta perilaku sehari-hari, berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat. Dari konsep karakter ini muncul konsep Pendidikan karakter (character education).
B. Pentingnya Pendidikian Karakter.
Oleh karena pentingnya pendidikan karakter sebagai fondasi pembangunan SDM suatu bangsa, maka pemerintah melalui kemendikbud membuat sebuah regulasi berupa Permendikbud 20 Tahun 2018 tentang Penguatan Pendidikan Karakter (PPK), pada Satuan Pendidikan Formal yang merupakan turunan dari Perpres No. 87 Tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter. Pada Pasal 1 ayat 1 bahwa Penguatan Pendidikan Karakter yang selanjutnya disingkat PPK, adalah gerakan pendidikan di bawah tanggung jawab satuan pendidikan untuk memperkuat karakter peserta didik melalui harmonisasi olah hati, olah rasa, olah pikir, dan olah raga dengan pelibatan dan kerja sama antara satuan pendidikan, keluarga, dan masyarakat, sebagai bagian dari Gerakan Nasional Revolusi Mental (GNRM). Berbicara tentang revolusi mental, tentunya tidaklah semudah yang diucapkan, sebab yang direvolusi adalah manusia. Revolusi mental dimulai dari pendidikan anak usia dini, hingga perguruan tinggi, namun starting poin nya adalah keluarga. Apa itu revolusi mental? Revolusi mental adalah suatu gerakan untuk menggembleng manusia Indonesia agar menjadi manusia baru, yang berhati putih, berkemauan baja, bersemangat elang rajawali, berjiwa api yang menyala-nyala. Dilansir dari situs resmi Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo), gagasan revolusi mental pertama kali dilontarkan oleh Presiden Soekarno pada peringatan Hari Kemerdekaan 17 Agustus 1957. Soekarno melihat revolusi nasional Indonesia saat itu sedang mandek. Padahal tujuan revolusi untuk kemerdekaan Indonesia yang seutuhnya belum tercapai. Oleh karena itu, revolusi mental menurut Bung Karno menghendaki manusia Indonesia untuk meninggalkan kemalasan, korupsi, individualisme, ego-sentrisme, ketamakan, keliaran, kekoboian, kemesuman, keinlanderan, dan menjadi manusia Indonesia yang seutuhnya, menjadi manusia pembina. Oleh karena itu, revolusi mental pada hakikatnya adalah sebuah ajakan perubahan, perbaikan menuju kebaikan dan meninggalkan segala penyakit mentalitas yang mengerogoti anak bangsa, baik di masyarakat maupun kalangan pemerintahan. Atas dasar keprihatinan itulah, maka pemerintah melalui kemendikbud menerbitkan permendikbud No.23 tahun 2017 tentang Hari Sekolah yang mengatur sekolah 8 jam sehari selama 5 hari alias full day school. Nanun, esesnsinya bukan pada full day school nya, melainkan pada penguatan pendidikan karakter peserta didik melalui kegiatan intrakurikuler, kokurikuler, dan ekstrakurikuker. Artinya bahwa penumbuhan atau penguatan pendidikan karakter tidak ada disiapkan waktu khusus, melainkan diintegrasikan dalam KBM. Selain melalui kegiatan intrakurikuler, kokurikuler dan ekstra kurikuler, implementasi penguatan pendidikkan karakter dapat juga melalui kegiatan keteladanan dan kegiatan pembiasaan yang baik, dari para pendidik dan tenaga kependidikan. Bahwa seorang pendidik dan tenaga kependidikkan tidak cukup hanya dengan menarasikan atau mengajarkan, melainkan yang lebih penting adalah melakukan aksi nyata. Sebab, jika itu yang terjadi, maka kita akan dicap sebagai seorang NATO (No Action, Talk Only atau No Action Teach Only). Bahwa kita hanya pandai bicara atau mengajar, namun kita tidak dapat melakukan seperti apa yang kita bicarakan atau kita ajarkan.
Jadi mengajar teori atau pengetahuan di kelas itu penting, namun yang lebih penting adalah praktik hidup yang nyata alias keteladanan dan pembiasaaan hidup yang baik dari para pendidik dan tenaga kependidikan di sekolah, serta para orang tua di rumah..
C. SMPK Frateran Ndao Berkomitmen Dalam Pembentukan Karakter Peserta didik
Bagi sekolah penggerak SMPK Frateran Ndao, ketika pemerintah menerbitkan permendikbud No.23 tahun 2017 tentang Hari Sekolah yang mengatur sekolah 8 jam sehari selama 5 hari, maka sejak 2017 hingga saat ini memasuki tahun ajaran 2023/2024, Sekolah Penggerak SMPK Frateran Ndao, tetap mengimplementasi 5 hari sekolah, atau full day school, dan esensinya bukan pada full day school nya, melainkan pada penumbuhan atau pembentukan karakter peserta didik. Implementasi pendidikan karakter pada sekolah penggerak SMPK Frateran Ndao, dilaksanakan melalui kegiatan intrakurikuler, kokurikuler dan ekstrakurikuler, dengan berbasis sekolah, kelas dan masyarakat.
Terdapat beberapa cara pembentukan karakter peserta didik, pada sekolah penggerak SMPK Frateran Ndao, yakni:
a. Berbasis sekolah:
- Budaya 5S, yakni setiap pagi para petugas piket 5S datang lebih awal di sekolah, untuk menyambut kehadiran peserta didik dan warga sekolah. Melalui kegiatan piket 5S, para guru, pegawai mau menunjukkan sikap keteladanan hidup, dengan memberikan senyum, sapa, salam, sopan dan santun.
- Pembinaan 5S dan 4 kata bijak (Terima kasih, Permisi, Minta maaf dan minta tolong). Setiap hari senin, secara bergantian kelas 7, 8 dan 9 menerima pembinaan dari kaur kesiswaan dan kepala sekolah, terkait pentingnya 5S dan 4 kata bijak yang harus membudaya dalam diri peserta didik pada sekolah penggerak SMPK Frateran Ndao.
- Berkolaborasi dengan orang tua peserta didik: pihak sekolah melalui wali kelas menghadirkan orang tua peserta didik untuk bertatap muka atau sharing dengan wali kelas, terkaait: pendidikan dan pembentukan karakter seorang anak atau peserta didik. Sebab, pembentukan karakter tidak cukup hanya dilakukan oleh para guru di sekolah saja, melainkan harus dapat berkolaborasi dengan para orang tua peserta didik. Oleh karena itu, para wali kelas, khususnya wali kelas 7 & 8, menghadirkan para orang tua/wali ke sekolah, sesuai kelasnya, untuk berbicara dari hati ke hati tentang perkembangan anak atau peserta didik di rumah dan di sekolah, teristimewa terkait karakter anak atau peserta didik.
- Berkolaborasi dengan alumni: pembentukan karakter peserta didik pada sekolah penggerak SMPK Frateran Ndao, juga melibatkan alumni yang memiliki kompetensi di bidang psikologi. Passion nya tetap sama yakni pembentukan karakter peserta didik.
b. Berbasis kelas:
Implementasi penumbuhan dan pembentukan nilai nilai karakter, tidak hanya berbasis sekolah, melainkan juga berbasis kelas, yang dilakukan oleh para wali kelas maupun guru mata pelajaran. Bagi sekolah penggerak SMPK Frateran Ndao, implementasinya di kelas dilaksanakan pada: (1) saat jam wali kelas: dalam hal ini, para wali kelas, selalu mengingatkan para peserta didik, untuk selalu membudayakan 5S dan 4 kata bijak secetiap pagi. Selain itu, juga melalui (2) jam literasi selama 15 menit: selama ini, sekolah penggerak SMPK Frateran Ndao membiasakan untuk literasi sekolah selama 15 menit. Kami meyakini, bahwa melalui literasi bisa menjadi salah satu solusi pembentukan karakter, sebab peserta didik yang memiliki literasi yang baik, pasti memiliki karakter yang baik pula. Tidak hanya para wali
kelas, (3) guru mata pelajaran: setiap guru mata pelajaran dapat mengimplementasikan pembentukan nilai nilai karakter yang terintegrasi melalui Kegiatan Belajar Mengajar (KBM). Teknisnya guru menyampaikan nilai karakter yang dicapai atau yang diharapkan selama KBM berlangsung. Namun, tidak hanya dengan kata kata, melainkan melalui keteladanan dan pembiasaan.
Hal diatas ditegaskan pula melalui Permendikbud Nomor 20 Tahun 2018 pasal 6 ayat 2 tentang Penguatan Pendidikan Karakter pada Satuan Pendidikan Formal, dituliskan bahwa PPK berbasis kelas dapat dilakukan dengan:
- Mengintegrasikan nilai-nilai karakter dalam proses pembelajaran atau terintegrasi dalam mata pelajaran sesuai dengan isi kurikulum,
- Merencanakan pengelolaan kelas dan metode pembelajaran/pembimbingan sesuai dengan karakter peserta didik,
- Melakukan evaluasi pembelajaran/pembimbingan, dan
- Mengembangkan kurikulum muatan lokal sesuai dengan keperluan dan karakteristik daerah, satuan pendidikan, dan peserta didik.
Sejalan dengan permendikbud di atas, maka di dalam buku panduan praktis implementasi PPK berbasis kelas dijelaskan bahwa hal yang harus dilakukan guru dalam pembelajaran adalah sebagai berikut:
- Melakukan analisis nilai-nilai karakter dalam kompetensi dasar mata pelajaran,
- Mengintegrasikan nilai karakter dalam perencanaan pembelajaran,
- Melaksanakan pembelajaran,
- Melakukan penilaian dan evaluasi pembelajaran.
c. Berbasis Masyarakat
Implementasi PPK tidak hanya berbasis sekolah, dan berbasis kelas, melainkan juga berbasis masyarakat. Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) berbasis masyarakat adalah penguatan pendidikan karakter yang dilaksanakan satuan pendidikan untuk memberikan karakter peserta didik dengan melibatkan masyarakat. Penguatan pendidikan karakter berbasis masyarakat menjadi bagian tak terpisahkan dari program PPK sekolah yang menitikberatkan kemitraan tripusat pendidikan.
Penguatan pendidikan karakter berbasis masyarakat dilakukan dengan melibatkan dan memberdayakan potensi lingkungan sebagai sumber pembelajaran serta mensinergikan implementasi PPK dengan berbagai program yang ada di lingkup akademisi, pegiat pendidikan, LSM, dan lembaga informasi lainnya.
Perlu saya informasikan bahwa sebelum covid 19, sekolah penggerak SMPK Frateran Ndao, pernah melakukan kegiatan outing class (belajar sambil bertamasya) dengan mengunjungi ke sentra sentra, seperti: dapur flores pos waktu itu, ke LP (Lembaga Pemasyarakatan), ke panti asuhan, ke pengrajin tenun ikat. Demikianlah implementasi PPK berbasis masyarakat, dengan suatu kesadaran bahwa sumber belajar, penumbuhan dan pembentukan karakter peserta didik, tidak hanya terjadi di sekolah atau di kelas, oleh pendidik dan tenaga kependidikan, melainkan juga oleh masyarakat, sebagai lembaga pendidikan non formal.
Penutup
“Kebanyakan orang mengatakan bahwa kecerdasanlah yang membuat ilmuwan hebat. Mereka salah: itu adalah karakter.” – Albert Einstein
Demikianlah tulisan ini di buat, dan di lahirkan dari sebuah keprihatinan lantaran mulai tergerus atau adanya degradasi nilai karakter pada peserta didik pada umumnya dan peserta didik pada sekolah penggerak SMPK Frateran Ndao khususnya. Dan belakangan ini passion kami para pendidik dan tenaga kependidikan sekolah penggerak SMPK Frateran Ndao adalah pembentukan karakter peserta didik, dengan fokus pada 5S dan 4 kata bijak. Kami berharap 5S dan 4 kata bijak harus membudaya pada civitas academica sekolah penggerak SMPK Frateran Ndao. Apalagi status sebagai sekolah penggerak SMPK Frateran Ndao, maka harus bisa mewujudkan visi pendidikan indonesia, yakni mewujudkan Indonesia maju yang berdaulat, mandiri, dan berkepribadian melalui terciptanya Pelajar Pancasila. Jadi, ketika pelajar pancasila tercipta, maka dengan sendirinya pelajar indonsia berkarakter baik, khususnya pelajar SMPK Frateran Ndao. Namun, ini bukan pekerjaan yang mudah, butuh waktu dan proses. Tetapi, bagi kami sekolah penggerak SMPK Frayeran Ndao, hal ini menjadi tantangan tersendiri. Namun, kami tidak menyerah, kami sedang dan sudah berkolaborasi dengan segenap stakeholder, termasuk, otang tua, alumni atau pihak terkait dalam penumbuhan dan pembentukan karakter peserta didik pada sekolah penggerak SMPK Frateran Ndao. (*)