Dewan Nilai UNBK Tingkat SMP di Kupang Belum Siap

KOMISI IV DPRD Kota Kupang menilai pelaksanaan Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK) tingkat SMP di Kota Kupang belum siap.
Pasalnya banyak sekolah belum memiliki fasilitas pendukung seperti komputer dan jumlah siswa yang tidak sebanding dengan ketersediaan komputer yang dimiliki sekolah.
Sekretaris Komisi IV, Yuven Tukung saat dihubungi, Selasa 3 April 2018 mengatakan, sesuai kunjungan kerja Komisi IV ke beberapa sekolah di Kota Kupang, ditemukan banyak masalah menyangkut pelaksanan UNBK.
“Masalah pertama yang kita temukan saat berkunjung ke SMPN 1 dan SMPN 2, ketersediaan komputer terbatas. Kemudian kualitas Komputer yang disediakan itu pun tidak menjamin dalam memfasilitasi para siswa mengikuti UNBK,” kata Yuven di gedung DPRD Kota Kupang.
Selain persediaan Komputer, kata Yuven, ruangannya pun tidak nyaman karena beberapa ruang kelas pada 2 SMP Negeri yang dikunjungi, lebih tepat disebut sebagai tempat penyimpanan barang.
“Ini akan berpengaruh secara psikologi. Sebenarnya, yang harus diutamakan dalam ruangan pembelajaran itu adalah aspek kenyamanan, baik itu guru maupun siswanya. Terutama para siswa. Jadi kenyamanan ruangan harus benar-benar diutamakan,” tandas Yuven.
Selain Komputer dan ruangan, lanjut Yuven, kursi dan meja pun sudah dalam keadaan rusak. Berdasarkan laporan dari sekolah, kursi dan meja memang sudah dalam keadaan rusak ketika dibawa dari dinas ke sekolah. “Akibat rusak itu, pihak sekolah mengatakan bahwa daripada menumpuk mending dibuang saja,” sebutnya.
Sebagai wakil rakyat, Yuven mengaku sangat menyayangkan kondisi seperti itu, terlebih semua fasilitas tadi bersifat mutlak dalam memfasilitasi pelaksanaan UNB.
Yuven menambahkan, keputusan untuk mengikuti UNBK dinilai sudah tepat, hanya saja persiapannya yang belum sepenuh hati.
“Nah kita tidak ingin siswa menjadi korban dalam dalam ruang ini, jadi ade-ade kita sementara menata pendidikannnya, menempuh proses pembelajaran, akhirnya menjadi korban akibat ketidaksiapan kita,” tambah Yuven.
Yuven menilai, semua permasalahan itu merupakan konsekuensi mulai dari proses awal penerimaan siswa yang sudah mengangkangi UU pendidikan Nasional dan standar pendidikan.
Dalam standar pendidikan Nasional, Kata Yuven, rombongan belajar paling ideal berjumlah 28 orang, paling tinggi 32 orang.
“Maksudnya mulai dari proses awal belajar sampai proses akhir nanti ada satu jalur yang sudah sehat. Nah, repotnya itu kita sudah menabrak proses di awal padahal itu standar pendidikan nasional yang ditabrak,” tambah Yuven. ♦ epo