Derita dan Kemiskinan Rakyat Dinegeri Berkelimpahan Emas

Oleh : Lukas Lile Masan, Pr

 

PAPUA, Negeri Penghasil emas! Papua menempati urutan pertama sebagai propinsi termiskin di Indonesia. Di Negeri penghasil emas, kemiskinan sangat masif. Apakah karena faktor sistem?. Apakah karena mental masyarakatnya? Melalui tulisan ini saya coba menarasikan Fakta “Racun dan Kemiskinan” di negeri Penghasil Emas.
Sejarah Tambang emas di Papua bermula dari kejengkelan Jean Jacques Dozy yang saat itu membaca berita dari sebuah surat kabar. Saat itu, Dozy sedang berada di markas Nederlandsche Nieuw Guinea Petroleum Maatschappij (NNGPM), Babo, Papua Barat pertengahan tahun 1936. Hati Dozy terusik oleh kabar koran tentang rencana Jepang ingin mendaki Puncak Catensz di Papua Barat. Sebagai warga dari bangsa yang menguasai wilayah Papua, Dozy tak ingin Jepang sebagai negara pertama yang menginjakan kaki di Puncak Cartenz, tempat salju abadi. Di ketinggian 4.000 meter Dozy bersama dua temannya: Colijn dan Wissel mencapai padang rumput sesuai dengan yang mereka lihat saat survei melalui udara. Pada saat itulah Dozy menemukan singkapan pegunungan yang dinamakan Erstberg dan Gerstberg yang berarti gunung biji emas dan Tembaga. Temuan Dozy dibuat dalam bentuk laporan dan disimpan di perpustakaan Belanda. Pada tahun 1959, pihak Freeport membaca laporan Dozy dan mulai menggagas rencana melakukan ekspedisi ke Cartenz. Ekspedisi ini dipimpin oleh Dobes Wilson dan Del Fint. Pasca Perjalanan Ekspedisi, pihak Freeport bertemu dengan Presiden Pertama RI: Ir. Sukarno untuk menjalin kerjasama usaha tambang emas dan tembaga di Papua. Namun Presiden Pertama Indonesia itu menolak. Presiden Sukarno sangat keras terhadap perusahaan asing. Akibatnya, upaya eksplorasi tidak berjalan mulus. Kejatuhan Sukarno memiliki kaitan yang erat dengan masalah tambang emas di Papua. Konspirasi Suharto dan Freeport mengkudeta Sukarno melalui peristiwa Gerakan 30 September PKI. Kekuasaan Sukarno jatuh dan diganti oleh Soeharto. Suharto membuka kerjasama dengan perusahaan asing terutama PT. Freeport untuk menambang emas di Papua. Sebab pada waktu itu otak Suharto telah dicekoki petinggi Freeport bahwa dengan membuka tambang emas di Papua dapat memantik pertumbuhan ekonomi. Maka ditetapkan UU No.1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing, membuka jalan seluas-luasnya bagi Freeport untuk melakukan pertambangan di gunung emas tersebut pada tanggal 07 April 1967. Setelah diberi kepercayaan oleh Suharto, perusahaan milik AS itu langsung tancap gas. Instalasi pertambangan skala besar dibangun. Lubang besar di tanah perlahan semakin melebar sepanjang 2 km dan dalam mencapai 800 m, menandakan kalau ekploitasi kekayaan alam semakin masif.

Amungme – Komoro terbelenggu oleh sistem Orde Baru
Suku Amungme dan Kamoro adalah dua suku yang memiliki lahan tempat Freeport saat ini mengoperasikan tambang tembaga dan emas. Suku Amungme hidup di pegunungan sedangkan Suku Kamoro tinggal di pesisir pantai. Sejak awal Freeport beroperasi, tak pernah sekalipun mereka dilibatkan dalam pembuatan kontrak karya. Padahal, merekalah pemilik tanah ulayat.
Sistem otoriterian yang diterapkan orde baru membungkam kebebasan orang asli Papua terutama Suku pemilik hak ulayat wilayah tambang tersebut. Tidak hanya itu, segala hak sebagai manusia dan warga negara Indonesia diabaikan oleh pemerintahan Suharto. Suharto membatasi akses pendidikan untuk Orang Asli Papua dengan target agar Orang Asli Papua tetap bodoh dan tertinggal. Dibidang kesehatanpun berlaku hal yang sama. Sehingga banyak anak asli papua yang meninggal karena kekurangan Gizi, terserang Malaria, campak, kolera dan akibat penyakit menular lainnya. Untuk membatasi ruang gerak orang asli Papua, Suharto menerapkan program Transmigrasi dari luar Papua untuk menguasai lahan-lahan strategis di wilayah dataran rendah seanatero Papua. Kondisi ini menumbuhkan rasa antipati terhadap pemerintah dan PT. Freeport Indonesia. Masyarakat angkat bicara, namun rezim Suharto dan PT. Freeport Indonesia menggunakan militer sebagai perisai untuk menjaga kenyamanan. Siapapun yang bersuara dikejar, diciduk, dibui, dianiya bahkan dibunuh.
Sejatinya kehidupan orang asli Papua tak terkecuali orang amungme Komoro adalah hidup dari meramu di hutan dan mencari ikan dilaut, sungai dan danau. Terbatasnya akses pendidikan kala itu turut berpengaruh pada lambannya perkembangan sosial ekonomi. Pengetahuan akan managemen kehidupan masih terbatas pada pola meramu hingga terkesan bahwa mental Orang Asli Papua adalah selalu berfoya-foya. Antropolgi orang Papua adalah hidup dari hutan, sungai dan danau. Pola meramu masih menguasai alam pikiran mereka sehingga sebesar apapun jumlah uang yang diperoleh hari ini, dihabiskan hari ini juga, esok dicari yang baru. Mereka tidak mengenal budaya lumbung dan menabung. Antropologi dan Sosiologi Orang Asli Papua seperti ini dirawat dan dilestarikan oleh rezim orde baru tanpa adanya upaya mengubah pola pikir dan manajemen hidup orang asli papua melalu program pemberdayaan seperti koperasi, credit union, dll. Rezim Suharto merasa ogah untuk menata kehidupan OAP kearah yang lebih baik melalui bidang Pendidikan, kesehatan dan transportasi. Terjadi pembiaran oleh rezim Orde Baru dan tak mau membangun sumber daya manusia Orang Asli Papua.

Kehancuran Ibu Bumi Amungme Komoro oleh PT. Freeport
Bangsa Indonesi boleh berbangga bahwa setelah puluhan tahun Freeport menguasai saham PT. Freeport Indonesia, melalui Presiden Joko Widodo sebagai presiden pertama Indonesia yang sukses mengakuisisi saham mayoritas milik tambang emas terbesar ini. Jokowi tidak pernah bertemu dengan masyarakat Suku Amungme dan Komoro yang hidup di sekitar lokasi tambang. Jokowipun tak pernah berpikir dan mungkin tak pernah membayangkan tentang kerusakan lingkungan dan ruang hidup suku-suku asli sekitar tambang. Padahal pada pertemuan G20 di bali beberapa waktu lalu, Presiden ke 7 RI ini sangat ngotot berbicara tentang perubahan iklim dan keselamatan Ekologi. Namun disaat yang sama, pemerintah pusat membuka ruang dan kerjasama dengan Perusahaan Pertambangan menghancurkan alam Papua yang telah didaulat sebagai paru-paru dunia.
Kehadiran Freeport telah menghadirkan daya rusak di wilayah adat Suku Amungme dan Kamoro. Perusahaan pertambangan raksasa di tanah Papua ini hanya memberikan kesejahteraan pada segelintir orang, tidak untuk suku asli yaitu Amungme dan Kamoro dan mereka yang tinggal di wilayah Mimika Timur Jauh yakni Distrik Jita dan Agimuga.
Masyarakat adat Suku Amungme dari generasi ke generasi sejak dari para leluhur mereka menganggap gunung sebagai tempat keramat dan suci, di dalamnya hidup roh dan leluhur mereka. Tanah diyakini sebagai ibu karena memberikan rezeki dan kehidupan. Namun, gunung dan tanah dibabat, dikeruk, dilubangi, dikuras dan dihabisi isinya oleh Freeport. Masyarakat Suku Kamoro tidak bisa hidup tanpa sungai, sampan dan sagu. Akan tetapi, nasib mereka sama dengan Suku Amungme, ruang hidup dan sendi-sendi kehidupan mereka dihancurkan oleh Freeport. Kehadiran PT Freeport tidak memberi harapan dan kesejahteraan bagi mereka secara maksimal tetapi justru membawa malapetaka dan kemiskinan. Daya rusak akibat operasi Freeport membawa dampak pada penduduk yang ditaksir berjumpah 6.484 jiwa. Mereka tidak lagi bisa mengakses jalur transportasi laut, kehilangan mata pencaharian, kehilangan akses terhadap pelayanan publik seperti pendidikan dan kesehatan masyarakat. Sebanyak 3.500 penduduk di tiga distrik yaitu Distrik Agimuga, Jita dan Manasari di wilayah Mimika Timur Jauh saat ini tidak lagi memiliki akses jalur transportasi laut. Hal ini dikarenakan sungai yang menjadi jalur transportasi utama mereka telah mengalami sedimentasi dan pendangkalan akibat pembuangan limbah tailing PT Freeport di Sungai Wanogong.
Kampung – kampung Suku Amungme dan Komoro telah dikepung limbah. Limbah tailing PT Freeport yang dibuang serampangan ini mempengaruhi kesehatan warga, terutama di wilayah pembuangan limbah. Sumber air tercemar limbah memaksa mereka mengonsumsi air hujan. Warga suku Amungme Komoro sering diserang penyakit akut seperti sakit kepala yang datang tiba tiba, penyakit kulit, sesak nafas, kaki dan tangan kram, hilangnya nafsu makan. Kondisi ini jika tidak mendapat pertolongan medis akan berimbas pada kematian.

Kolaborasi yang mengabaikan Hak dan kesejateraan Masyarakat Amungme-Komoro
“Masyarakat harus sejahtera dari hasil tambang, karena di mana-mana di seluruh dunia, masyarakat sekitar lingkar tambang harus sejahtera. Tambang harus berguna untuk mengatasi kemiskinan, mengurangi buta huruf dan membangun fasilitas kesehatan bagi rakyat pemilik ulayat tambang. Namun sungguh jauh panggang dari api. Orang asli Papua – Masyarakat Amungme Komoro menderita dan hidup miskin diatas negerinya yang menghasilkan emas. Dana satu persen yang diberikan PT Freeport kepada suku di sekitar area tembang, tak menjamin keberlangsungan masa depan suku itu. Harusnya Freeport memikirkan tentang jaminan akan keberlangsungan hidup generasi suku Amungme dan Kamoro pada masa mendatang. 
Pemerintah Pusat dan PT. Freeport Indonesia enggan memberikan tanggapan apalagi menjawab tuntutan masyarakat pemilik ulayat wilayah pertambangan. Keduanya seperti berkonspirasi. Namun Perjuangan TOM Beanal telah menghadirkan Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Amungme-Komoro atau LPMAK, sebagai wadah atau lembaga Pengantara antara Freeport dengan Masyarakat lokal. Namun pengucuran dana ke brankas LPMAK tak sebanding dengan nilai yang masuk ke brankas Jakarta dan Freeport. Kecilnya dana membuat LPMAK pun sangat irit menjangkau generasi muda dari Suku Amungme dan Komoro. Buktinya, masih banyak anak-anak dari suku Amungme dan Komoro yang tidak sekolah. Mereka seperti anak ayam yang kehilangan induknya menjadi peminta-minta, pemulung dan jasa pemikul barang. Miris sekali. Mereka yang sebenarnya harus sekolah tapi bernasib demikian. Karena mereka lahir dari keluarga miskin dan terus dalam selimut kemiskinan padahal bumi mereka, negeri mereka kaya emas. Negara mengabaikan nasib dan masa depan mereka, Freeportpun tidak total membantu mereka tapi dengan setengah hati. Mereka secara totalitas membiarkan bumi mereka dikuras, tapi kado yang harus mereka terima adalah kemiskinan, penderitaan dan hilangnya masa depan. ***