GMIT Mau Kemana?

Paul Bolla

Oleh Paul Bolla

GEREJA Masehi Injili di Timor atau akrab disingkat GMIT sejak 20 September 2015 memulai Sidang Raya Sinode GMIT ke- 33 di Rote. Gereja protestan terbesar di Indonesia dari segi jumlah pengikut setelah Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) ini akan menggelar Sidang Sinode (SS) hingga 2 Oktober 2015. Sidang empat tahun sekali ini merupakan sidang pertanggungjawaban Majelis Sinode (MS) sejak terpilih pada SS GMIT di GMIT Elim, Naibonat, Kabupaten Kupang tahun 2011 lalu. SS GMIT ke- 33 juga akan merancang program pelayanan untuk masa pelayanan empat tahun kedepan 2015-2019. Lalu para peserta SS GMIT  akan memilih MS baru periode 2015-2019  sebagai mandataris  GMIT untuk melaksanakan program pelayanan yang sudah ditetapkan dan hasil-hasil sidang lainnya.
Lalu apa yang diharapkan dari SS GMIT ke-33 di Rote? Warga GMIT yang berjumlah sekitar lebih dari dua juta jiwa menaruh harapan besar kepada peserta sidang yang berasal dari wilayah pelayanan GMIT yang tersebar di 44 klasis, mulai dari Pulau Batam, Pulau Sumbawa (Nusa Tenggara Barat) dan seluruh wilayah Provinsi Nusa Tenggara Timur, tidak termasuk Pulau Sumba. Setiap klasis mengirimkan enam orang peserta yang memiliki hak suara, terdiri dari tiga orang pendeta dan tiga orang lain adalah presbyter dari kaum awam. Tiga orang kaum awam masing-masing satu orang mewakili unsur penatua, satu orang mewakili unsur diaken dan satu orang lagi mewakili unsur pengajar. Disamping Majelis Sinode periode 2011-2015, ada lagi peserta sidang yang berstatus undangan dan peserta peninjau.
Lalu apa yang diharapkan umat dari Sidang Sinode ke- 33 di Rote? Pertanyaan ini sangat relevan. Pasalnya, jauh-jauh hari yang paling ramai dijadikan bahan pembicaran adalah figur-figur calon ketua dan majelis sinode lainnya. Media sosial seperti facebook juga menjadi ajang curhat harapan Sidang Sinode GMIT harus mengutamakan pembahasan tentang hal-hal yang berkaitan dengan kondisi jemaat dan fungsi GMIT.
Tokoh jemaat Herman H BanoEt berpendapat saatnya GMIT melakukan reorganisasi. BanoEt mengusulkan persidangan mendiskusikan pemberian otonomi kepada klasis di Alor, Flores, Rote Sabu untuk mengurus gerejanya sendiri dan dalam kurun waktu tertentu bisa ada synode am. Dengan demikian ada pendewasaan jemaat wilayah. BanoEt menganggap tidak tepat nama GMIT ada di Flores, Sumbawa, Batam, Alor, Rote, Sabu dan lain-lain tetapi masih menggunakan nama Timor dalam nama GMIT. “Sudah saatnya AD/ART GMIT diubah dan memakai nama yang tidak menunjukkan hegemoni nama etnis, dll,” tulis BanoEt diakunya.
Pendeta Thomas Ly, mengharapkan semua utusan atau peserta sidang sudah dipersiapkan dengan pemahaman bernas seputar pokok-pokok pergumulan gereja, sekaligus solusi dan tindakan apa yg perlu dilakukan gereja ke depan, dan jangan hanya mempersiapkan diri utk memilih calon pimpinan gereja, sekalipun itu sama pentingnya.
Aktivis gereja Rychard Billy merasakan GMIT masih kurang memperhatikan pendidikan anak-anak kecil, yakni anak-anak sekolah minggu. GMIT lebih sibuk mengurusin kalangan pemuda ke atas.  Ada kesan pendidikan anak sekolah minggu dan peserta katekisasi dinomorduakan. GMIT hanya mengurus jemaat dewasa saja. Keluhan ini semoga mendapat tempat dalam persidangan. Siapa tahu para peserta sidang tertarik untuk menggumuli suatu keputusan yang menetapkan adanya Pendeta Kategorial, misalnya, Pendeta PAR, Pendeta Mahasiswa, Pendeta Siswa, Pendeta Pemuda, Pendeta Kaum Wanita, Pendeta Kaum Bapak, Pendeta Kaum Lansia. Maryetha Maure, mengusulkan para peserta SS GMIT membicarakan bagaimana peranan GMIT menghadapi perkembagan dunia dan arus globalisasi dengan memberdayakan jemaatnya, sehingga program gereja  yang diputuskan mampu menjawab kebutuhan jemaat, baik di kota maupun di pedesaan. GMIT juga sudah seharusnya berpikir tentang relasi dengan gereja-gereja disekitarnya dan tidak bisa lagi menjadi gereja yg eksklusif. Pendeta juga diharapkan mampu menunjukkan pola hidup yg baik sebagai pimpinan umat bukan  menjadi contoh yang buruk bagi jemaat. Melalui persidangan agar sinode dapat lebih bijak lagi  dalam mengatur para karyawan/calon karyawan.
Pendeta Eli Maplani mengakui bahwa pergumulan GMIT kompleks. Karena itu, Maplani mengharapkan pergumulan itu menjadi tugas bersama dan bukan saling mengkritik, tetapi berbuat sesuatu yang dapat memberkati jemaat. Setiap orang diberikan talenta untuk melakukan yang terbaik dalam membangun jemaat. Berpikir kritis itu baik tapi harus ditindaklanjuti dengan tindakan kearah perubahan, katanya.  Menurut Pendeta  Besly Messakh, merancang program pelayanan yang baik juga harus diimbangi dengan figur-figur yang bisa dan memiliki kapasitas untuk melaksanakannya. Atau dalam bahasa yang berbeda Pendeta Jefri Wattileo mengatakan bekerja dalam “team work” atau kemajelisan. Harus bersama-sama bekerja untuk program pelayanan yang berbasis jemaat.
Ada banyak soal dalam jemaat yang harus menjadi perhatian persidangan sinode GMIT. Di antaranya, masalah trafficking, masalah pengrusakan alam, lingkungan hidup, masalah narkoba, HIV/AIDS, masalah kekeringan, gagal panen, masalah pengelolaan sekolah-sekolah GMIT. Juga ketaatan kepada tata gereja dan produk-produk peraturan yang dihasilkan persidangan Sidang Sinode dan Sidang Majelis Sinode. Produk persidangan yang dihasilkan dengan menghabiskan banyak uang yang bisa dilaksanakan.
Kita menunggu bersama GMIT hendak dibawa kemana? (*)