EXPONTT.COM – Dalam beberapa tahun ke depan, Perusahaan Listrik Nasional (PLN) akan membangun Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) di kawasan Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Tercatat, ada 28 tambang panas bumi (geothermal) yang nantinya akan menjadi sumber PLTP.
Dari 28 lokasi pembangunan PLTP di NTT, sebanyak delapan wilayah telah ditetapkan sebagai wilayah kerja panas bumi (WKP), diantaranya, Waesano Kabupatan Manggarai Barat, Ulumbu Kabupaten Manggarai, Sokoria Kabupaten Ende, Ngade dan Mataloko di Kabupaten Ngada, Oka Ile Ange di Kabupaten Flores Timur, Atadei Kabupaten Lembata, dan Gunung Sirung Kabupaten Alor.
Dari delapan wilayah itu, dua diantaranya telah dibangun PLTP, yakni PLTP Ulumbu Unit 1 dan 2 yang berlokasi di Kabupaten Manggarai dan telah beroperasi pada 2012 lalu. Saat ini sedang direncanakan perluasaanya di Kecamatan Poco Leok dan yang kedua, PLTP Mataloko Unit I yang berlokasi di Kabupaten Ngada yang saat ini telah dibangun dan direncanakan akan mulai beroperasi pada 2025 mendatang.
PLTP disebut-sebut akan menjadi energi baru yang lebih ramah lingkungan dan akan menggantikan secara penuh Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang memiliki dampak buruk yang tinggi pada lingkungan.
Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi (Ditjen EBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), F.X Sutijastoto mengatakan, selain sebagai demand listrik, PLTP dibangun untuk mencari peluang dalam pemanfaatkan panas bumi secara langsung serta mensupport kebutuhan listrik di Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) di Flores.
“Untuk bisnis tertentu seperti tourism atau perhotelan, pengolahan hasil pertanian atau perkebunan,” katanya, 19 Oktober 2019, melansir Antara.com.
Meski begitu, Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) dalam bukunya yang berjudul “Daya Rusak Tambang Panas Bumi” menyebut, invasi tambang panas bumi yang terus meluas tanpa koreksi menunjukkan pengurus negara lebih mementingkan investasi industri dari pada rakyat dan ruang hidupnya.
Bias kepentingan itu diperparah dengan ragam kebijakan dan aturan yang selain membuka lebar ekspansi industri tambang panas bumi, juga secara sistematis melumpuhkan hak veto dan perlawanan rakyat.
Di skala nasional kejadian bencana industri, sebagaimana terjadi di Sorik Marapi, Dieng, dan wilayah lain di Indonesia, misalnya, sekalipun menimbulkan korban jiwa, pihaknya tak melihat keberpihakan pengurus negara terhadap warga.
Situasi ini, sudah semestinya menjadi pembelajaran kolektif, bahwa hari ini dan kedepannya, kehadiran negara tak selalu baik bagi masa depan warga itu sendiri.
Sebagaimana halnya dengan perluasan industri tambang panas bumi yang meski dibalut dengan bahasa baru, “energi bersih”, “ramah lingkungan”, “rendah emisi”, namun tetap beroperasi dengan watak dan cara yang sama, yaitu, menghancurkan ruang hidup, termasuk wilayah leluhur, merusak bentang air, meracuni udara.
Kesadaran kritis setiap warga negara di garis depan krisis tambang panas bumi harus terus dibangun, bahwa operasi buas ekstraktif kapital melalui pembongkaran material tambang dan energi, termasuk penambangan air besar-besaran untuk mendukung industri tambang panas bumi, adalah hanya untuk memenuhi cara hidup urbanisme industrial yang selain bukan warisan leluhur, juga tak selalu terkait langsung dengan kebutuhan rakyat di kampung-kampung.
Dampak Buruk Bagi Kesehatan dan Lingkungan
Menurut data JATAM tahun 2023, dalam ekstraksi panas bumi, sumber air panas dan uap yang dihasilkan mengeluarkan gas hydrogen sulfide (H2S) yang bersifat korosif.
Gas H2S adalah senyawa kimia gas yang tidak berwarna, lebih berat daripada udara, flammable, explosive, corrosive, dan sangat berbahaya, beracun, dengan bau khas “telur busuk”.
Nama lain untuk H2S adalah gas selokan, gas rawa, ataupun gas tinja. Gas ini bisa timbul secara alami di minyak mentah, gas alam, mata air panas, sumur air, vulcano gas. Selain itu, H2S juga bisa ditimbulkan oleh proses pembusukan bakterial bahan organik dan limbah manusia maupun binatang dalam kondisi kekurangan oksigen.
Gas H2S memiliki sejumlah efek buruk bagi kesehatan manusia, diantaranya, bisa mengiritasi mata, hidung, tenggorokan dan sistem pernapasan (seperti mata perih dan terbakar, batuk, dan sesak napas). Selain itu, gas ini bisa memperparah kondisi bagi para penderita asma.
Efek ini bisa tidak secara langsung dan baru akan terasa beberapa jam atau beberapa hari kemudian.
Pemaparan berulang maupun jangka panjang dapat menimbulkan gejala seperti, mata merah, sakit kepala, fatigue, mudah marah, susah tidur, gangguan pencernaan, dan penurunan berat badan.
Selain berpengaruh dan menimbulkan bahaya bagi kesehatan manusia, H2S juga berpengaruh terhadap peralatan logam karena H2S bersifat korosif pada logam.
Salah satu metode yang populer pada pemanfaatan energi geothermal (panas bumi) adalah hydraulic fracturing (fracking).
Fracking merupakan teknik stimulasi sumur yang mana lapisan batuan di bawah diretakkan dengan fluida cair bertekanan tinggi.
Penambangan energi dengan menggunakan fracking dapat menyebabkan gempa bumi minor, pencemaran dan penurunan debit air, thermal pollution dan juga amblesan di sejumlah titik.
Menurut data Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) NTT per Oktober 2023, dari 28 rencana PLTP yang akan di bangun di NTT, semuanya akan tersebar di sejumlah pulau di NTT, diantaranya di Pulau Alor, Pulau Timor dan Pulau Flores.
Direktur Eksekutif Walhi NTT, Umbu Wulang Paranggi, menyebut pembangunan PLTP di NTT tidak melalui sistem yang demokratis dengan menghormati nilai-nilai lokal di NTT dan hanya sesuai keinginan pemerintah pusat. Penetapan Pulau Flores sebagai pulau geothermal juga menurutnya tidak transparan oleh pemerintah.
“Memangnya pernah ada referendum sebelum pemerintah menetapkan Pulau Flores sebagai pulau geothermal? Masa untuk keberlangsungan hajat hidup orang banyak dan lingkungan hidup kita sendiri tidak ada pemilunya?” ungkap Umbu, saat ditemui di Kantor Walhi NTT, Rabu 11 Oktober 2023.
Pemerintah seharusnya terbuka dengan dampak positif dan negatif dari tambang geothermal, hal itu sebagai bentuk kampanye sebelum akhirnya diputuskan bersama oleh masyarakat.
“Ini dari awal masyarakat tidak dilibatkan. Mereka tidak pernah disosialisasikan, sehingga masyarakat tidak punya pilihan. Lalu buat apa ada Undang-undang Otonomi Daerah? Buat apa ada Undang-undang Desa kalau semua diputuskan dari (pemerintah) pusat?” kata Umbu.
Dirinya juga menyesalkan selama ini pembangunan di NTT tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan keadaan di NTT, terutama program pembangunan dari pemerintah pusat.
Menurutnya, NTT memiliki sumber daya alam yang dapat menjadi alternatif, seperti energi tenaga angin dan matahari yang diklaim terbaik se-Indonesia, namun hingga saat ini belum mampu diberdayakan untuk kepentingan publik melalui kebijakan yang melindungi keberlangsungan lingkungan.
Walhi NTT menyebut, tambang geothermal yang telah di bangun di Flores berdampak buruk bagi lingkungan dan masyarakat.
Di PLTP Mataloko, Ngada yang belum beroperasi saja sudah meninggalkan masalah. Dampak sudah mulai terasa dari privatisasi air yang dilakukan saat pembangunan PLTP yang menyebabkan sejumlah sumber air bagi masyarakat tidak berjalan.
“Di Mataloko baru awal saja ini masyarakat sudah ribut masalah air, di Desa Ratogesa dan sebagian Desa Ulubelu itu air tidak pernah keluar lagi. Ada keran-keran yang disediakan pemerintah untuk masyarakat dan air di situ gratis, namun semenjak pembangunan semakin kesini air tidak pernah jalan lagi,” kata Deputi Walhi NTT, Yuven Nonga.
Dirinya menyebut air-air tersebut dialihkan untuk pembangunan tambang geothermal yang membutuhkan jumlah air yang banyak. “Waktu pengeboran membutuhkan air dalam jumlah besar,” katanya.
Walhi NTT menyayangkan tidak adanya perlindungan serta langkah-langkah mitigasi bagi masyarakat oleh pemerintah melalui peraturan dalam untuk melindungi keberlangsungan lahan adat serta lahan pertanian dan perkebunan masyarakat sekitar lokasi pembangunan PLTP. “Untuk lost dan damage akibat itu tidak ada aturannya,” tambah Yuven.
Hampir serupa, lanjut Yuven, PLTP Ulumbu di Kabupaten Manggarai yang telah beroperasi sejak tahun 2012 telah mempengaruhi ketahanan pangan di wilayah tersebut.
Tiga tempat lumbung pangan terbesar di Kabupaten Manggarai yang menjadi penyupport beras terbanyak di Pulau Flores yakni, di Kecamatan Satar Mese, Kecamatan Lelak dan Cancar, telah mengalami gagal tanam di beberapa tahun belakangan ini.
“Ketiga wilayah itu gagal tanam semua, kita cek di hulu ternyata ada tambang (panas bumi) Wae Sano dan di Poco Leok yang saat ini tengah dalam pembangunan (tambang panas bumi), daerah-daerah ini kan terhubung,” imbuh Yuven.
Terkait permasalah dampak berbahaya PLTP kedepan yang kian mengancam keberlangsungan ekologi di wilayah NTT, Walhi NTT merekomendasikan bagi para calon anggota legislatif (caleg) disetiap tingkatan untuk tidak hanya selalu bermain di zona nyaman.
“Jangan hanya bicara soal kesejahteraan, tapi harus juga bicara pemburukan ekologi, apa yang kita nikmati sekarang adalah pengorbanan dari lingkungan yang rusak dan orang-orang yang mendapat dampak negatif dari pembangunan. Setiap pembangunan pasti selalu ada dua lini, yakni positif dan negatifnya. Caleg juga harus bicarakan perspektif dari korban pembangunan, jangan hanya bicara positifnya saja, prestasi dan kesuksesan dari pembangunan,” ungkap Umbu.
Dirinya sebagai calon anggota DPD RI dari daerah pemilihan (dapil) NTT pada pemilu 2024 mendatang, Umbu memiliki impian agar bisa mendorong agar sebuah daerah bisa berdaulat mengolah sumber daya alam (SDA) tanpa bergantung penuh pada pengusaha dari luar daerah.
“Sesuai dengan tupoksi DPD RI tentu hanya bisa memberikan rekomendasi saja, tapi saya lihat ada beberapa peluang yang bisa kita lakukan melalui DPD, salah satunya melalui pendidikan kita memperjuangkan keanekaragaman hayati NTT. NTT harus punya ahli disetiap kekayaan yang dimiliki NTT. Orang NTT harus punya ahli cendana, ahli komodo, ahli lontar dan lainnya sendiri,” pungkasnya. ♦gor