EXPONTT.COM, KUPANG – Tim kuasa hukum PT Sarana Investama Manggabar (PT SIM) dan PT Sarana Wisata Internusa (PT SWI) menyebut, eksepsi yang diuraikan jaksa penuntut umum (JPU) dalam dakwaan kasus dugaan korupsi pemanfaatan aset Pemerintah Provinsi (Pemprov) Nusa Tenggara Timur (NTT) yang telah dibangun Hotel Plago tidak cermat dan prematur.
Hal itu disampaikan salah satu tim kuasa hukum, Dr. Yanto Ekon usai sidang eksepsi yang berlangsung, Selasa, 21 November 2023, di PN Kelas IA Kupang
Dirinya juga menegaskan perkara tersebut tidak bisa dituntut dalam ranah peradilan tindak pidana korupsi (tipikor).
Baca juga: Pemprov NTT Umumkan UMP Tahun 2024, Naik 2,96 Persen
“Perkara yang didakwakan kepada terdakwa Hari Pranyoto maupun Lidya Sunaryo, itu bukan kewenangan tindak pidana korupsi, itu kewenagan peradilan perdata dan tata usaha negara (TUN),” katanya.
Hal tersebut karena dalam perkara Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Korupsi yang didakwakan ke terdakwa Direktur PT SIM Hari Pranyoto dan Direktur PT SWI Lidya Sunaryo tidak relevan dengan keadaan yang terjadi.
Dimana tidak adanya kerugian keuangan negara ataupun keuangan daerah yang terjadi, karena PT SIM sebagai investor dalam perjanjian Bangun Guna Serah (BGS) membangun Hotel Plago dengan dana sendiri.
Baca juga:Kriminalisasi Terhadap PT SIM: Preseden Buruk Iklim Investasi di Indonesia
“JPU menguraikan, Pemprov NTT mengalami kerugian Rp8,5 miliar lebih, tapi justru disatu pihak PT SIM rugi karena setelah membangun Hotel Plago dengan dana Rp25 miliar. Pemprov NTT secara sepihak dan melawan hukum mengambil alih Hotel Plago sejak tahun 2020,” jelasnya.
Hal tersebutlah, lanjut Yanto Ekon, yang memicu PT SIM menggugat secara perdata Pemprov NTT karena telah memutus sepihak perjanjian dan dimenangkan PT SIM (perkara perdata).
Selain itu, dakwaan JPU yang menyebut penerbitan izin mendirikan bangunan (IMB) dan buku tanah hak bangunan Hotel Plago yang juga bermasalah seharusnya masuk ke ranah peradilan TUN.
Baca juga:Menang Lawan Pemprov NTT, Kuasa Hukum PT SIM Harap Putusan Perdata Buka Wawasan Penyidik Kejaksaan
“Ini kan obyek tata usaha negara yang keabasahannya seharusnya diuji di peradilan TUN,” jelasnya.
Yanto Ekon juga menilai dakwaan JPU dalam kasus tersebut tidak lengkap, tidak cermat dan tidak jelas hal itu dikarenakan uraian dalam dakwaaan sebenarnya mengarah pada kerugian PT SIM.
Dalam dakwaan disebutkan Pemprov NTT merugi Rp8,5 miliar atas hotel yang dibangun dengan uang PT SIM senilai Rp25 miliar. “Itu artinya Rp16 miliar masih menjadi keuntungan Pemprov NTT. Ketidakcermatan itu, bagi kami dakawaan itu harus batal,” tambahnya.
Baca juga:Legalkah Para Pemegang Saham Bank NTT melakukan naik banding
Lebih lanjut Yanto Ekon menyebut ketidakvermatan lain dalam dakwaan yakni, yang seharusnya dituntut itu PT SIM sebagai koorporasi, bukan mendakwa Hari Pranyoto dan Lidya Sunaryo sebagai pribadi.
Lebih lanjut ia menyebut dakawaan JPU dalam kasus ini prematur. “Belum saatnya diajukan di saat proses perkara perdatanya sedang berjalan,” jelas Yanto Ekon.
Sebelumnya, PT SIM menang dalam perkara perdata atas gugatan PT SIM terhadap Pemprov NTT terkait pemutusan sepihak perjajian BGS oleh Pemprov NTT melalui putusan hakim PN Kupang yang diumumkan secara e-court pada 14 November 2023.
Baca juga:TPDI Minta Kejati NTT Tak Berkoar-koar Soal Pemeriksaan Jonas Salean
Dalam amar putusannya, hakim PN Kupang menyatakan perjanjian antara PT SIM dan pemprov NTT sah menurut hukum dan pemutusan perjanjian sepihak oleh pemprov adalah perbuatan melawan hukum (PMH).
“Seharusnya dakwaan terhadap terdakwa seharusnya belum diajukan ke pengadilan. Harus menunggu putusan ini berkekuatan hukum tetap. Seharusnya JPU menghormati putusan perdata tersebut,” pungkasnya.♦gor
Baca juga:Perolehan Laba Bank NTT di tahun 2023 kian Memburuk