EXPONTT.COM, KUPANG – Stefani Heidi Doko Rehi alias Fani yang menyalurkan anak kepada Mantan Kapolres Ngada AKBP Fajar Widyadharma Lukman Sumatmadja, dituntut selama 12 tahun penjara oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejari Kota Kupang.
Tuntutan itu disampaikan pada Senin 22 September 2025, di PN Kupang.
Fani seorang mahasiswi berusia 21 tahun yang didakwa terlibat dalam kasus kekerasan seksual terhadap anak dan tindak pidana perdagangan orang (TPPO), yang kini telah berstatus terdakwa bersama-sama Fajar Lukman.
Dalam persidangan di Pengadilan Negeri Kupang, JPU menyatakan bahwa terdakwa didakwa dengan dakwaan kombinasi (alternatif kumulatif).
“Dakwaan kesatu yaitu Pasal 81 ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2016, jo. Pasal 65 ayat (1) KUHP. Sementara itu, dakwaan kedua yaitu Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 17 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO),” ujar Kasi Penkun Kejati NTT, Anak Agung Raka Putra Dharmana.
Menurut Raka, dari hasil pemeriksaan, JPU menegaskan bahwa seluruh unsur tindak pidana dalam kedua pasal dakwaan tersebut telah terbukti secara sah dan meyakinkan.
“Berdasarkan uraian tuntutan, JPU meminta majelis hakim agar menjatuhkan pidana penjara selama 12 tahun terhadap terdakwa dengan dikurangi masa tahanan,” kata Raka.
Selain itu, terdakwa juga dituntut membayar pidana denda sebesar Rp 2 miliar.
“Dengan ketentuan apabila denda tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama 1 tahun. Barang bukti yang diajukan dalam perkara ini akan digunakan untuk kepentingan persidangan atas terdakwa lain bernama Fajar Widyadharma Lukman Sumaatmadja,” pungkas Raka.
Sementara itu, terdakwa dibebankan untuk membayar biaya perkara sebesar Rp 5 ribu. Jaksa turut memaparkan sejumlah hal yang memberatkan dalam perkara ini.
“Perbuatan terdakwa telah menimbulkan trauma mendalam bagi anak korban berinisial I.S. (6 tahun). Tindakan terdakwa juga menimbulkan keresahan di tengah masyarakat, khususnya orang tua yang memiliki anak perempuan kecil,” terangnya.
Lebih lanjut Raka menjelaskan, perbuatan tersebut dipandang bertentangan dengan program pemerintah dalam upaya menciptakan lingkungan yang ramah dan aman bagi anak.
“Adapun hal yang meringankan adalah bahwa terdakwa masih berusia muda, sehingga masih memiliki kesempatan untuk memperbaiki diri dan masa depannya,” katanya.
Kejati NTT kata Raka, menegaskan bahwa perkara ini menjadi bukti keseriusan aparat penegak hukum dalam memberantas kejahatan seksual terhadap anak serta tindak pidana perdagangan orang.
Penegakan hukum diharapkan mampu memberikan efek jera kepada pelaku sekaligus perlindungan maksimal bagi anak-anak sebagai generasi penerus bangsa.
“Negara tidak boleh kalah melawan kejahatan seksual terhadap anak. Kejaksaan hadir untuk memastikan hukum ditegakkan dengan tegas, memberikan rasa keadilan, serta melindungi hak-hak korban,” tegas JPU dalam persidangan, kata Raka.
Sidang perkara ini kemudian ditunda hari Senin 29 September 2025, dengan agenda pembacaan nota pembelaan dari penasehat hukum terdakwa. (**)








