Oleh: Gregorius Jorly Kantur
Mahasiswa IFTK Ledalero
Perkembangan teknologi sekarang ini sungguh luar biasa. Salah satu hasilnya yang paling banyak dibicarakan adalah kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence (AI). Dalam beberapa tahun terakhir, AI mulai digunakan di berbagai bidang, termasuk dunia pendidikan. Banyak guru dan siswa memakai AI untuk mencari bahan pelajaran, menjawab pertanyaan, bahkan membuat tugas. Saya sendiri pernah mencobanya, dan memang terasa lebih cepat dan praktis. Namun, lama-kelamaan saya mulai menyadari bahwa pendidikan tidak hanya soal pengetahuan. Ada hal yang jauh lebih penting, yaitu pembentukan karakter dan nilai-nilai kemanusiaan. Di sinilah letak batas AI. Ia bisa membantu kita belajar, tetapi tidak bisa membentuk hati dan karakter manusia.
AI Mempermudah Belajar
Tidak bisa dipungkiri, AI sangat membantu dalam dunia pendidikan. Dengan bantuan AI, guru bisa menyiapkan materi lebih cepat, dan siswa bisa menemukan penjelasan yang lebih mudah dipahami. AI juga dapat menyesuaikan pelajaran sesuai kemampuan setiap siswa. Misalnya, siswa yang cepat tangkap bisa diberi soal lebih sulit, sedangkan yang masih kesulitan mendapat bimbingan tambahan. Bagi saya, hal ini tentu sangat membantu. Kadang saat belajar, ada istilah yang sulit saya pahami. AI bisa menjelaskannya dengan bahasa sederhana. Tetapi di sisi lain, saya juga sadar bahwa kalau terlalu sering bergantung pada AI, saya bisa jadi malas berpikir dan kehilangan rasa ingin tahu.
AI Tidak Bisa Menggantikan Nilai dan Hati Nurani
AI memang bisa memberi jawaban yang cepat dan tepat, tetapi ia tidak punya hati nurani, empati, maupun rasa tanggung jawab. Padahal, pendidikan sejati tidak hanya membuat seseorang pintar, tetapi juga membentuk pribadi yang baik dan bijaksana. Nilai seperti kejujuran, kesabaran, kepedulian, dan kasih sayang tidak bisa diajarkan oleh mesin. Saya belajar bahwa karakter seseorang dibentuk melalui proses, pengalaman, dan relasi dengan sesama. Saya belajar tentang disiplin, doa, dan tanggung jawab dari pembimbing dan teman komunitas, bukan dari AI. Pengalaman hidup bersama orang lain, menghadapi konflik, belajar mengampuni, dan bertumbuh dalam cinta kasih adalah bagian penting dari pendidikan yang tidak akan pernah bisa digantikan oleh teknologi apa pun.
Guru dan Pembimbing Tetap Diperlukan
Walaupun teknologi semakin maju, peran guru tetap tidak tergantikan. Guru bukan hanya penyampai ilmu, tetapi juga teladan hidup. Melihat sikap guru yang sabar, jujur, dan tulus bisa memberi inspirasi besar bagi siswa. AI bisa menjelaskan teori, tapi tidak bisa meneladankan kasih dan ketulusan hati. Karena itu, AI sebaiknya tidak menggantikan peran guru, melainkan menjadi pelengkap dalam proses belajar. AI hanyalah alat bantu, sedangkan guru tetap menjadi sosok yang membimbing arah, nilai, dan semangat pendidikan.
Menggunakan AI Secara Bijak
Kita tidak bisa menolak perkembangan teknologi, tetapi kita bisa belajar menggunakannya dengan bijak. AI akan berguna kalau dipakai dengan benar. Misalnya:
1. Gunakan AI untuk mencari informasi tambahan, bukan untuk menyalin tugas.
2. Jadikan AI alat bantu berpikir, bukan pengganti akal sehat dan hati nurani.
3. Tetap utamakan kejujuran dan tanggung jawab dalam belajar.
4. Ingat bahwa belajar sejati bukan soal nilai tinggi, tapi soal menjadi pribadi yang berintegritas.
Kesimpulan
AI memang membantu kita belajar lebih cepat dan efisien, tetapi tidak bisa menggantikan peran manusia. AI tidak dapat mencintai, memahami perasaan, atau memberi teladan hidup. Pendidikan sejati adalah proses membentuk manusia seutuhnya — cerdas dalam pikiran, lembut dalam hati, dan teguh dalam karakter. Karena itu, AI hendaknya digunakan sebagai alat bantu yang menolong kita bertumbuh, bukan menggantikan peran manusia dalam mendidik dan mengasihi. Saya sendiri menyadari bahwa teknologi hanyalah sarana. Yang paling penting adalah bagaimana saya membiarkan hati saya terus dibentuk oleh Tuhan dan sesama, supaya saya tidak hanya cerdas dalam pengetahuan, tetapi juga bijaksana dan penuh kasih dalam pelayanan.