Penulis : Febrianus Goa
(mahasiswa semester I IFTK Ledalero)
Media sosial akhir-akhir ini mengalami perkembangan yang sangat pesat dan tidak bisa dielakkan lagi dalam kehidupan manusia. Hadirnya media soial dapat membantu manusia dalam berbagai aspek kehidupan, terutama dalam medi komunikasi. Hadirnya media sosial dapat mempermudah komunikasi antara yang satu dengan yang lain, komunikasi yang dulunya menggunakan surat, namun dengan adanya media sosial komunikasi antara satu dengan yang lain begitu cepat, orang menjadikan media sosial sebagai kampung global (global vilage). Hadirnaya media sosial ini mesti disambut denga baik karena akan berdampak besar jika kita menggunakannya dengan bijak, (Inter Mirifica, 1962, hlm. 54). Di tengah berkembangnya media sosial tidak menutup kemungkinan lahirnya sebuah problem. Hadirnya media sosial dapat membantu manusia juga dapat merusak citra manusia itu sendiri. Sebut saja masalah hoax, prostitusi online, masalah cyber dan masih banyak kasus lainnya.
Media sosial adalah sebuah perangkat yang dapat memudahkan penggunanya untuk berinteraksi dan bertukar informasi antara satu dengan yang lain. Media sosial seakan menjadi makanan sehari-hari bagi para penggunanya, orang mengabiskan waktu kosong dengan bermain media sosial, ini yang disebut oleh paus Fransiskus sebagai “manusia pertapa” yang cenderung menyendiri dan tidak mau membuka diri terhadap sesama. Indonesia tercatat sebagai salah satu negara yang dengan pengguna media sosial sebanyak 50,2%. Ada berbagai macam platform media sosial yang digunakan oleh kebanyakan orang, diantaranya YouTube, Facebook, Tiktok dan Instagram, (detiknet, diakses pada 4 April 2025). Dengan menggunakan media sosial orang dengan gampang mendapatkan informasi serta berbagi informasi kepada sesama. Ironisnya orang memanfaatkan media sosial untuk menyebar bertita hoax. Hoax adalah informasi yang tidak sesuai dengan fakta dan data yang dibuat secara sadar untuk memprovokasi orang lain. Tindakan seperti ini dapat merusak persatuan.
Konsilli Vatikan ke II merupakan konsili ekumenis ke 21. Konsili ini terjadi pada tahun 1962-1965. Dalam konsili ini ada 16 dokumen yang dihasilkan, diantaranya empat konstitusi, sembilan dekrit, dan tiga pernyataan. Salah satu dari sembilan dekrit yang dihasilkan pada konsili ini adalaha dekrit Inter Mirifica. Dekrit ini berisi tentang upaya-upaya komunikasi sosial yang membahas pentingnya tanggung jawab etis dalam menggunakan media sosial. Tentunya dekrit ini tidak menghalangi masyarakat untuk menggunakan media sosial, dekrit ini melihat media sosial sebagai anugrah dari Tuhan. Namun dekrit ini mengharapkan, agar para pengguna media sosial ini bertanggung jawab serta bertindak secara moral dalam menggunakan media sosial. Dekrit ini melihat media sosial sebagai alat bantu bagi kehidupan manusia.
Dekrit ini hadir bukan untuk menghilangkan media sosial, tetapi dia hadir sebagai obat agar bisa meminimalisir bahkan melenyapkan masalah hoax. Dalam dekrit ini menekankan bahwa siapaun yang menggunakan media sosial harus mematuhi aturan norma-norma moral dan mempraktikannya dengan setia. Ada beberapa tawaran yang mau dilontarkan dari dekrit ini. Pertama kewajiban kaum muda. Kita tahu sasaran utama dari berkembangnya media sosial ini adalah kaum muda atau apa yang disebut dengan gen Z. Sebagai agen perubahan (agent of change), para kaum muda harus bersikap kritis terhadap suatu berita atau informasi yang beredar dalam media sosial. Kedua kewajiban pemerintah. Hendaknya pemerintah membuat aturan yang tegas bagi para pengguna media sosial, selain untuk meminimalisir masalah hoax juga demi kenyamanan dalam hidup bersama, (Inter Mirifica, 1963, hlm. 59). Menarik, di tengah maraknya kasus hoax presiden Prabowo Subianto mengundang sejumlah pejabat negara ke istana negara untuk membahas berbagai persoalan, salah satu hal yang dibahas dalam pertemuan itu adalah masalah hoax, (Tribunnews.com, diakses pada 27 April 2025). Tindakan pemerintah ini merupakan sebuah kewajiban untuk menjaga ketertiban para pengguna media sosial agar mereka tertib dalam menggunakan media sosial. Hemat penulis bahwa semua kewajiban ini perlu kita perhatikan secara bersama demi kenyamanan dan kebaikan bersama (bonum comune). Terciptanya suatu masyarakat yang kondusif, bila kita mengunakan media sosial secara baik dan bijak.(*)