Tudingan “Nagekeo Dalam Cengkeraman Mafia” Merupakan Sesat dan Tanpa Dasar

Bambang Nurdiansyah

 

Oleh: Bambang Nurdiansyah
Wartawan ExpoNTT

Tulisan Steph Tupen Witin yang menyebut “Nagekeo dalam cengkeraman para mafia” sejak dimulainya pembangunan Waduk Mbay/Lambo adalah tuduhan yang sesat dan tidak berdasar hukum. Lebih jauh, tulisan itu menyeret nama pejabat kepolisian, termasuk AKBP Yudha Pranata, seolah menjadi bagian dari kelompok mafia tanah.

Tudingan seperti ini hanya memperkeruh suasana dan merusak marwah Kabupaten Nagekeo yang sedang bekerja keras membangun daerah. Pembangunan Waduk Mbay/Lambo adalah program strategis nasional yang penting untuk masa depan masyarakat Nagekeo. Mengaitkannya dengan istilah “mafia” tanpa bukti yang jelas hanya melemahkan kepercayaan publik terhadap pemerintah dan aparat penegak hukum yang selama ini bekerja mendukung agenda pembangunan.

Fakta di lapangan membuktikan sebaliknya. Keberhasilan penyelesaian Penlok 1 dan pemberian ganti rugi kepada warga terdampak merupakan buah dari kerja keras AKBP Yudha Pranata bersama jajaran Polres Nagekeo. Dalam prosesnya, sempat hadir kelompok-kelompok aliansi seperti AMAN di bawah pimpinan Johanes Bala yang membuka klinik hukum penyelesaian persoalan tanah adat. Bersama pihak ICW, mereka turut mendampingi proses advokasi namun akhirnya bubar, sehingga penyelesaian ganti rugi di Penlok 1 berjalan dengan lancar.

Baca juga:  Peran Penting Sastra Dalam Menumbuhkan Intelektual Anak di Era Digital

Adapun persoalan 14 bidang tanah dengan nilai lebih dari Rp 21 miliar yang kini masih berproses hukum merupakan tanah komunal yang belum dibagi secara individu kepada warga di sekitar area pembangunan—antara lain masyarakat Lambo, Redu, Isa, dan Gaja. Persoalan ini terjadi setelah AKBP Yudha pindah tugas ke Polres Bima Kota, sehingga mengaitkan nama beliau dalam kasus tersebut jelas tidak relevan.

Selama dua tahun bertugas di Nagekeo, AKBP Yudha dikenal sebagai pemimpin humanis yang dekat dengan masyarakat. Beliau bahkan dianugerahi gelar adat seperti Hoga Nage dan Hoga Kawa — sebuah penghormatan yang tidak sembarang diberikan kepada pejabat luar daerah.

Selain fokus pada tugas penegakan hukum, beliau menggagas berbagai event positif yang memantik perputaran ekonomi lokal, seperti turnamen voli, futsal, car-free night and day, trabas motor, pacuan kuda, hingga Kejuaraan Taekwondo Flores Continental Piala Kapolres Nagekeo yang diikuti 678 atlet dari seluruh dojang se-NTT. Sarana olahraga baru seperti lapangan futsal dan voli dengan tribun penonton bertingkat pun dibangun, yang kini menjadi fasilitas penting bagi generasi muda Nagekeo.

Baca juga:  Demokrasi Kehilangan Roh, Rakyat Kehilangan Harapan

Semua itu terwujud berkat komunikasi yang baik dan pendekatan humanis kepada pengusaha lokal, dengan semangat To’o Jogho Waga Sama yang terus digaungkannya. Kepeduliannya kepada lansia pun terlihat melalui pemberian bantuan kursi roda dan kebutuhan lain. Tak heran jika nama AKBP Yudha Pranata hingga kini menjadi yang paling diingat masyarakat Nagekeo, meski sudah ada dua kapolres lain setelahnya.

Kini, Nagekeo berada di bawah kepemimpinan Bupati Simplisius Donatus dan Wakil Bupati Gratianus Gonzalo Muga Sada, hasil Pemilukada 2024 melalui Paket Idola. Keduanya bekerja keras melanjutkan pembangunan yang telah dikerjakan para pemimpin sebelumnya, sekaligus fokus memulihkan kondisi Nagekeo pasca banjir bandang yang paling parah melanda Kecamatan Mauponggo.

Baca juga:  Konsumtivisme Dalam Ranah Pendidikan: Transformasi Sekolah Menjadi Arena Distingsi Sosial

Pemerintah daerah, bersama Forkopimda, legislatif, dan yudikatif, bahu membahu membangun Nagekeo. Tuduhan-tuduhan liar seperti yang dilontarkan bukan hanya merendahkan martabat pemerintah, tetapi juga mengganggu stabilitas sosial.

Lebih parah lagi, tulisan Stef Tupeng Witin yang menyebut “elit Jakarta” menjadi beking mafia tanah di Nagekeo juga tidak menyebut secara jelas siapa yang dimaksud. Spekulasi tanpa bukti ini hanya memantik keresahan masyarakat dan menyerang privasi pihak-pihak tertentu. Menuding tanpa dasar yang jelas adalah fitnah yang tidak dapat diterima nalar sehat.

Oleh karena itu, tuduhan-tuduhan yang dialamatkan kepada aparat dan elit daerah maupun pusat harus dipandang sebagai serangan yang tidak berdasar. Masyarakat Nagekeo perlu berhati-hati terhadap opini yang hanya menebar prasangka tanpa data. Pembangunan Waduk Mbay/Lambo dan upaya pemulihan pasca-bencana harus dipandang sebagai peluang kemajuan, bukan dijadikan senjata untuk memecah belah masyarakat.