Oleh : Magnis Jason Vaticanus Nipa Do
FLORES adalah pulau yang memiliki potensi sumber daya alam yang berlimpah dan tersebar hampir di semua wilayahnya. Potensi sumber daya alam ini sayangnya kurang mampu dikelola secara baik dan berdaya guna oleh masyarakat lokal. Masyarakat mengelolanya hanya sebatas pada kepentingan biasa sebagai pemenuhan kebutuhan primer dan sekunder dalam skala kecil. Faktor ini pada akhirnya menarik minat banyak pihak untuk mengolah kekayaan alamnya dalam banyak bentuk yang lebih besar. Salah satu bentuk partisipasi pemerintah terhadap pengolahan sumber daya alam di Flores ialah melalui proyek geothermal. Flores sendiri sekurang-kurangnya telah menyumbangkan beberapa wilayahnya untuk realisasi proyek geothermal ini, seperti Sokoria di wilayah Kabupaten Ende, Matoloko di wilayah Kabupaten Ngada dan Poco Leok di wilayah Kabupaten Manggarai. Sumbangan wilayah ini menjadi bukti partisipasi masyarakat yang pada dasarnya memimpikan kesejahteraan.
Seiring berjalannya waktu, aktivitas geothermal tiada hentinya menimbulkan banyak kerugian pada pihak masyarakat khususnya bagi mereka yang berada dalam radius zona pertambangan. Hal ini mengundang reaksi dari pihak Gereja yang merasa tidak setuju dengan kebijakan pemerintah untuk menjadikan Flores sebagai pulau geothermal. Penolakan ini didasarkan oleh pelbagai kerusakan yang timbul akibat pelaksanaan proyek ini. Para tokoh-tokoh Agama Katolik di wilayah Flores, seperti Mgr. Paulus Budi, SVD dan beberapa uskup lainnya menyatakan dengan tegas sikap penolakannya terhadap keberlanjutan proyek geothermal di Flores. Para Uskup di wilyah menunjukkan sikap penolakkannya terhadap proyek geothermal yang dipandang sebagai bentuk eksploitasi sumber daya alam. Gereja menilai bahwa pelaksanaan proyek geothermal merupakan suatu pilihan yang tidak tepat untuk konteks Flores dan Lembata. Partisipasi Gereja inilah yang kemudian memunculkan pertanyaan besar tentang “Dasar Apakah dari Gereja yang dengan Tegas Menentang Proyek Ini dan Bukankah Gereja Haruslah Berfokus pada Urusan Iman tanpa Melebur dalam Ranah Politik dan Pemerintah?”
Proyek geothermal dipahami rangkaian kegiatan untuk mengidentifikasi, mengeksplorasi, dan memanfaatkan panas bumi sebagai sumber energi, yang meliputi tahap eksplorasi, pengeboran, pembangunan pembangkit, dan operasi. Dalam konteks ini, proyek geothermal memiliki pengaruh yang besar terhadap alam dan masyarakat yang bermukim di sekitar wilayah tempat proyek ini beroperasi. Proyek ini tidak hanya menghasilkan sumber energi yang baru tetapi juga menguras sumber daya yang sudah ada pada alam.
Akhir-akhir ini, proyek geothermal menjadi salah satu pembahasan yang cukup faktual di wilayah Flores. Masalah ini sedang hangat diperbincangkan karena beredar video di media-media online berupa aksi penolakan masyarakat terhadap proyek geothermal yang sedang dijalankan di beberapa titik terutama di Kawasan Flores. Ende menjadi salah satu daerah yang dengan tegas menyatakan penolakan mereka terhadap aksi geothermal melalui gerakan sosial berupa demonstrasi yang dilakukan terhadap pemerintah daerah. Dalam aksi ini, terlihat secara jelas keterlibatan para biarawan/i dan para tokoh-tokoh Gereja dalam memimpin masyarakat Ende. Diberitakan sekitar 2.000 orang yang melakukan aksi penolakan ini.
Masyarakat menilai bahwa proyek geothermal seolah-olah mengalami kegagalan karena telah menyebabkan banyak kerugian dalam berbagai sektor seperti sektor agraris dengan hilangnya wilayah pertanian masyarakat akibat panas yang dihasilkan dari bawah tanah, aliran lumpur panas yang meluap dan mengaliri kebun dan merusak tanaman warga. Selain itu, dampak yang dirasakan juga mengimbas pada kondisi kesehatan masyarakat dengan munculnya penyakit kulit akibat hawa panas yang tertiup angin dari area tambang dan juga sering tercium bau tidak sedap dari lumpur belerang. Dampak yang ditimbulkan ini berimpikasi memunculkan keraguan dan penolakkan dari masyarakat, di mana masyarakat merasa diperdayai dengan janji manis proyek ini.
Menanggapi situasi ini, Gereja sebagai sebuah institusi yang besar dan berpengaruh terhadap masyarakat, mengambil sebuah sikap yang tegas untuk menolak pelaksaanaan proyek geothermal di Flores. Keterlibatan Gereja terhadap proyek geothermal secara nyata diperlukan terutama sebagai suatu upaya untuk memantik semangat umat setempat agar secara bersama memperjuangkan keadilan dan keutuhan ciptaan. Selain itu, hal utama yang mendasari aksi ini ialah sebagai bentuk tanggapan aktif atas seruan Ajaran Sosial Gereja (ASG) dan beberapa dokumen lainnya yang bertentangan dengan keadilan, kedamaian dan keutuhan ciptaan. Dalam pengertian yang lebih komprehensif, ASG dapat dimaknai sebagai tanggapan Gereja terhadap persoalan-persoalan sosial, baik dalam bidang ekonomi, sosial, politik, lingkungan hidup (ekologi) maupun kebudayaan. Gereja bukanlah suatu komunitas yang menutup mata terhadap persoalan yang terjadi di dalam masyarakat apalagi bila itu berkenaan dengan keadilan dan keutuhan ciptaan. Peran Gereja yang hierarkis tidak menawarkan pemecahan masalah yang konkret bagi masalah-masalah khusus, tetapi memperkembangkan martabat dan hak-hak dari setiap orang, menyatakan keadilan pada semua tingkat dan mencela hal-hal yang tidak adil.
Dalam kisah penciptaan, nampak jelas bahwa Allah menempatkan segala ciptaanNya pada tataran yang disebutNya mulia dan luhur. Sebab dunia dengan segala isinya sungguh dikehendaki oleh Allah dan karena itu semua baik adanya (Kej. 1:31). Manusia sebagai makhluk yang secitra dengan Allah diamanatkan tugas untuk menjaga dan memelihara alam ciptaan Tuhan yang amat luhur sebab di dalamnya Allah menampakkan kemuliaanNya. “Kemuliaan Tuhan dalam pekerjaan tangan dan dalam taurat-Nya. Langit menceritakan kemuliaan Allah, dan cakrawala memberitakan pekerjaan tanganNya” (Mazmur 19: 1-2). Sebagai citra Allah, manusia mempunya martabat sebagai pribadi yang mampu mengenali dirinya sendiri, menyadari kebersamaan dirinya dengan orang lain, dan bertanggung jawab atas makhluk ciptaan yang lain.
Gereja sebagai salah satu pihak yang menolak proyek ini memberikan beberapa pendasaran yang kritis terhadap sikapNya. Gereja menimbang bahwa konteks geothermal bukanlah suatu pilihan yang tepat bila disandingkan dengan topografi wilayah Flores yang dipenuhi oleh gunung dan bukit serta sumber mata air yang terbatas. Pilihan eksploitatif ini juga bertabrakan dengan arah utama pembangunan yang menjadikan wilayah ini sebagai daerah pariwisata, pertanian, perkebunan, peternakan unggulan dan kelautan. Selain itu, menimbang adanya dampak negatif yang disebabkan oleh proyek ini dan yang telah dirasakan secara nyata oleh masyarakat, maka Gereja dengan tegas menolak untuk menindaklanjuti proyek ini. Dampak-dampak negatif yang ditimbulkan dari proyek ini menjadi sebuah bentuk pengingkaran terhadap janji-janji manis yang diutarakan oleh para pemerintah sewaktu melakukan sosialisasi bersama masyarakat. Berdasarkan hasil riset yang dilakukan oleh Eindhoven University of Technology dipaparkan bahwa proyek geothermal memiliki dampak negatif yang sangat meresahkan masyarakat terutama yang bermukiman di sekitar geothermal antara lain: risiko eksplorasi tinggi, berdampak negatif terhadap lingkungan lokal, dan munculnya masalah sosial serta tata kelola.
Di sisi lain, Gereja juga menilai bahwa adanya proyek ini akan memberi dampak buruk terhadap kebudayaan masyarakat yang sedang berkembang. Hal ini disebabkan oleh perubahan masif yang ditimbulkan akibat proyek ini. Salah satu akibat besar yang ditimbulkan adalah lenyapnya daya ingat sosial (social memory). Generasi baru yang lahir setelah proyek ini beroperasi, akan mewarisi tata nilai dan sosial baru yang merupakan dampak operasi tambang dan bukan tata nilai yang semula dimiliki oleh masyarakat setempat.
Gereja punya letak dasar yang kuat dengan mengmbil alasan dari berbagai Dokumen Gereja Katolik yang secara khusus mengulas tentang alam semesta. Dalam dokumen Konsili Vatikan II, masalah geothermal tidak dibahas secara eksplisit tetapi memiliki korelasi dengan pengajaran yang diterima secara luas dalam Gereja Katolik. Sebagaimana telah dijabarkan tentang dampak negatif geothermal terhadap alam ciptaan Tuhan, dokumen ini hendak menegaskan bahwa manusia yang yang diciptakan menurut gambar Allah diberikan tanggungjawab untuk menguasai alam ciptaan Tuhan dalam keadilan dan kesucian (Gaudium et Spes art. 34). Pernyataan ini memiliki implikasi terhadap pemeliharaan alam semesta dan usaha untuk senantiasa menjaga kelestarian alam yang akan diwariskan kepada generasi selanjutnya. Jadi, kaum beriman wajib mengakui makna sedalam-dalamnya, nilai serta tujuan segenap alam tercipta, yakni: demi kemuliaan Allah. Dengan demikian, kaum awam memiliki tanggung jawab untuk menyucikan tata dunia sesuai dengan kehendak Allah (Lumen Gentium No. 36).
Sikap Gereja yang tegas dalam menolak adanya geothermal di Pulau Flores merupakan tanggapan nyata dari seruan Ajaran Sosial Gereja dan dokumen-dokumen Gereja, yang menegaskan tanggung jawab umat beriman untuk peduli terhadap keadilan sosial, martabat manusia, dan kelestarian lingkungan hidup. Gereja melihat bahwa iman tidak dapat dipisahkan dari realitas dunia baik mencakup kehidupan masyarakat maupun keadaan lingkungan hidup. Karena itu, setiap umat juga dipanggil untuk bersikap kritis terhadap kebijakan pemerintah maupun tindakan para pelaku ekonomi yang cenderung mengeksploitasi alam tanpa memperhatikan kesejahteraan bersama. Sebagai anggota Gereja, kita memiliki tanggung jawab moral untuk menjaga, melestarikan, dan memperjuangkan keutuhan ciptaan. Alam semesta adalah anugerah Tuhan yang diciptakan dengan sempurna dan luhur. Maka, menjadi panggilan kita bersama untuk memelihara bumi ini dengan cinta dan tanggung jawab, serta berdiri bersama kaum kecil yang menjadi korban dari keserakahan manusia.








