Damai Sejahtera: Salam Yang Membawa Hadirat Kristus

♦Renungan oleh: Fr. M. Yohanes Berchmans, BHK

 

 

SALVE bagimu para saudaraku ytk. dalam Kristus Tuhan. Apakah Anda saat ini sedang merasakan damai sejahtera? Damai sejahtera tidak berarti hidup tanpa konflik atau masalah, melainkan keadaan hati yang tetap tenang, sebab Tuhan pasti memegang kendali, asalkan ada relasi spiritual dengan-Nya. Pada hari ini Gereja Katolik sejagat merayakan Pesta Santo Lukas, Pengarang Injil.

Renungan hari ini terinspirasi dari Injil Lukas 10: 1 – 9, yakni Yesus mengutus tujuh puluh murid. Dalam bacaan Injil hari ini, ketika Yesus mengutus para murid-Nya untuk pergi ke kota-kota dan rumah-rumah, Ia memberikan satu nasihat yang tampak sederhana namun sarat makna: “Kalau kamu masuk ke suatu rumah, katakanlah lebih dahulu: Damai sejahtera bagi rumah ini.” Yesus tidak memulai dengan instruksi tentang pengajaran, mukjizat, atau strategi pelayanan. Ia memulai dengan etika relasi: memberi salam damai. Ini bukan sekadar sopan santun, melainkan tanda bahwa Allah hadir, bahwa Kristus menyertai mereka, dan bahwa mereka datang bukan untuk membawa konflik, melainkan damai. Dalam kehidupan sehari-hari, sering kali kita lupa bahwa menjadi murid Yesus bukan hanya soal pengajaran atau pelayanan besar, tetapi juga soal karakter dan sikap HATI. Memberi salam damai sejahtera adalah tindakan kecil yang mencerminkan panggilan besar: menjadi pembawa damai di dunia yang penuh kegelisahan. Bahwa damai sejahtera bukan hanya tentang relasi sosial, tetapi juga tentang relasi spiritual.
Ketika kita mengucapkannya, kita sedang menyalurkan berkat Kristus yang hidup dalam diri kita kepada orang lain. Kita sedang membuka ruang bagi hadirat Allah untuk bekerja di tengah relasi di keluarga, komunitas, tempat kerja bahkan dalam percakapan sehari-hari. Maka, mari kita ingat bahwa: kita pun dipanggil dan diutus bukan untuk membawa kegaduhan, konflik, masalah, melainkan untuk membawa atau menghadirkan damai Kristus. Dan damai itu dimulai dari hal sederhana sebuah salam yang tulus, yang membawa Kristus masuk ke dalam HATI dan rumah sesama. Akhirnya, semoga kita menjadi saluran damai sejahtera Kristus di mana pun kita diutus. Mudah-mudahan.

Pertanyaan refleksi:

1. Apakah aku sudah menjadi pembawa damai sejahtera dalam setiap perjumpaan dengan orang lain, atau justru membawa kegelisahan dan sikap yang tidak membangun, dengan cuek?

2. Ketika aku memasuki ruang-ruang kehidupan orang lain—baik keluarga, komunitas, atau tempat kerja—apakah aku menyadari bahwa kehadiranku membawa berkat Kristus?
3. Bagaimana aku bisa lebih konsisten menjadikan salam damai sejahtera sebagai wujud nyata relasi sosial dan spiritual yang mencerminkan kasih Tuhan?