Batas Maritim Indonesia-Australia

Oleh: Prof. Yusuf Leonard Henuk,Ph.D
Dosen Tetap di STT SETIA Jakarta

SEJAK Indonesia meratifikasi United Nation Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982 melalui UU No 17 tahun 1985 dan UU Landas Kontinen Indonesia yang telah disahkan oleh DPR RI pada 13 April 2023 yang merujuk kepada UNCLOS 1982 dimana sesuai dengan ketentuan yang tercantum pada UNCLOS 1982 tersebut Indonesia sebagai suatu negara kepulauan memiliki hak atas wilayah perairan yang meliputi perairan pedalaman, laut territorial, zona tambahan, zona ekonomi eksklusif (ZEE), landas kontinen (LK). Bila ditinjau secara geografis, Indonesia memiliki perbatasan maritim dengan beberapa negara tetangga yaitu India, Thailand, Malaysia, Singapura, Vietnam, Filipina, Palau, Papua New Guinea (PNG), Australia, Timor Leste (RDTL). Sehingga, prioritas utama dalam implementasinya adalah penetapan batas maritim dengan negara tetangga. Sebagai negara kepulauan, tentunya batas maritim dengan negara tetangga menjadi masalah yang sangat penting dan perlu menjadi perhatian dan prioritas tersendiri. Sampai dengan saat ini delegasi RI terus aktif melakukan perundingan batas maritim dengan negara tetangga untuk mendapatkan kesepakatan, pada beberapa wilayah telah dihasilkan kesepakatan dan sebagian wilayah lainnya masih dalam upaya perundingan untuk mencapai kesepakatan.

Dalam konteks perbatasan, batas suatu negara dapat terdiri atas batas darat, batas laut dan batas udara. Batas darat dan batas udara merupakan batas teritorial yang memiliki kedaulatan penuh (full sovereignty), sementara batas laut tidak hanya laut Teritorial, akan tetapi juga mencakup Zona Tambahan (Contiguous Zone), batas Zona Ekonomi Eksklusif (Economic Exclusive Zone), dan batas Landas Kontinen (Continental Shelf). Oleh karena batas laut tidak hanya batas teritorial, maka terminologi yang tepat digunakan untuk laut adalah batas maritim, dimana memuat batas kedaulatan penuh dan batas hak berdaulat (sovereign right). Terminologi yang digunakan berkaitan dengan batas- batas maritim adalah sebagai berikut: (1) Batas Laut Teritorial (Territorial Sea Boundary), merupakan batas wilayah perairan negara pantai yang secara teori diukur tidak lebih 12 Mil Laut dari garis pangkal negara pantai yang telah ditetapkan; (2) Batas Zona Tambahan (Contiguous Zone Boundary), merupakan batas daerah wilayah perairan negara pantai yang secara teori diukur tidak lebih dari 24 Mil Laut dari garis pangkal yang telah ditetapkan; (3) Batas Zona Ekonomi Eksklusif (Exclusive Economic Zone Boundary), merupakan suatu daerah di luar dan berdampingan dengan Laut Teritorial dengan lebar zona tidak melebihi 200 Mil laut dari garis pangkal; (4) Batas Landas Kontinen (Continental Shelf Boundary), terdiri atas dasar laut dan lapisan tanah di bawahnya yang memanjang lebih dari batas Laut Teritorial hingga batas benua atau hingga maksimal 350 Mil Laut yang diukur dari garis pangkal bila batas terluar benua melebihi jarak tersebut; dan (5) Batas Landas Kontinen Ekstensi (Extended Continental Shelf Boundary),merupakan perpanjangan landas kontinen yang berada di luar 200 mil laut dan dalam penentuan batasnya ditentukan oleh klaim negara pantai dengan mengajukan data-data ilmiah hasil survei dan pemetaan seperti yang ditentukan dalam Pasal 76 UNCLOS 1982.

Sebagai negara pihak penandatangan UNCLOS 1982, maka Indonesia memiliki kewajiban untuk mengimplementasikan UNCLOS 1982 kedalam hukum nasionalnya, termasuk diantaranya mengenai negara kepulauan, pengaturan perbatasan negara dengan negara-negara tetangga, dan batas wilayah yurisdiksi dengan laut bebas. Sejalan dengan berlakunya UNCLOS 1982, prioritas utama dalam rangka implementasi ratifikasi tersebut adalah penetapan batas maritim dengan negara tetangga. Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia mempunyai perbatasan maritim dengan 10 (sepuluh) negara. Penyelesaian batas maritim tersebut dilakukan secara diplomasi melalui perundingan. Hasil perjanjian perbatasan maritim yang telah dilaksanakan antara Indonesia dengan negara tetangga antara lain sebagai berikut: (1) Batas Laut Teritorial dengan Malaysia (1970), Singapura untuk segmen Tengah (1973), untuk segmen Barat (2009) dan segmen Timur di Selatan Changi (2014), (2) Batas ZEE dengan Australia (1997, belum diratifikasi sesuai Pasal 11), dengan Filipina pada tanggal 23 Mei 2014; (2) Batas Landas Kontinen dengan Malaysia (1969), Australia (1971 dan 1972) untuk tahun 1997 belum Diratifikasi sesuai Pasal 11, Thailand (1971 dan 1975), Malaysia dan Thailand (1971), India (1974 dan 1977), Thailand dan India (1978), dan Vietnam (2003); (4) Batas Tertentu RI–PNG dengan Australia (1973); dan (5) Batas Maritim dengan PNG (1971) dilanjutkan penetapan batas ZEE tahun 1982.
Beberapa perundingan batas maritim yang belum dilakukan secara bilateral dengan negara tetangga diantaranya: (I) Batas Laut Teritorial dengan: (1) Selat Singapura (Pedra Branca/ Pulau Batu Puteh); (2) RDTL di Laut Sawu, Selat Wetar, dan Laut Timor; (II) Batas ZEE dengan: (1) India di Samudera Hindia dan Laut Andaman; (2) Malaysia di Selat Malaka dan Laut China Selatan; (3) Thailand di Selat Malaka sebelah Utara; dan (4) RDTL; (III)

Batas Landas Kontinen dengan: (1) Filipina di Laut Sulawesi; (2) Palau di Samudera Pasifik; dan (3) RDTL.
Khusus Batas Maritim Indonesia – Australia, Persetujuan ini oleh Pemerintah Indonesia belum diratifikasi sesuai Pasal 11, dimana daerah yang ditetapkan batasnya terletak di kawasan Samudera Hindia sebelah Selatan Pulau Roti dan kawasan maritim antara Pulau Jawa dan Pulau Christmas, sehingga Prof. Yusuf Leonard Henuk, Ph.D telah menegaskan perlu dibatalkan semua perjanjian antara Indonesia-Australia dari tahun 1974 hingga 1997 agar dirundingkan ulang semua batas maritim antara kedua megara dengan merujuk kepada Pasal 76 UNCLOS 1982.
Pada umumnya, terdapat beberapa catatan penting yang perlu diperhatikan dalam perundingan ulang kedua negara tetangga: (1) Perjanjian ulang untuk melanjutkan Persetujuan Landas Kontinen Tahun 1971 dan 1972 (26 Titik); (2) Menetapkan garis batas ZEE yang permanen untuk menggantikan Provisional Fisheries Surveilance and Enforcement Line (PFSEL) tahun 1981 yang ditetapkan berdasarkan median line dan terdapat sedikit perbedaan pada hak atas wilayah laut 24 mil di Ashmore Reef; (3) Sebagai dampak dari perubahan status Timor Timur, pihak Australia pada Juli 2001 telah mengajukan usulan amandemen yang intinya menghapuskan garis batas ZEE (Z28–Z36) di atas “Celah Timor”; dan (4) Pemerintah Indonesia masih mengkaji usulan ini, utamanya untuk melihat Trijunction points (titik sekutu) yang belum dirundingkan oleh 3 (tiga) negara yaitu Indonesia, Australia dan Timor Leste titik Z28 dan Z36.
Perjanjian Garis Batas Landas Kontinen antara Pemerintah RI dengan Australia dilaksanakan di Canbera, pada tanggal 18 Mei 1971. Perjanjian tersebut menyetujui 16 (enam belas) titik koordinat yang terletak di daerah perbatasan sebagai berikut : (1) Laut Arafura (Titik A1 – A12); (2) Perairan Selatan Pulau Papua (Titik B1 – B2); (3) Perairan Utara Pulau Papua (Titik C1 – C2). Pada umumnya, terdapat 29 titik koordinat batas wilayah laut Republik Indonesia dengan Pemerintah Australia adalah sesuai urutan Nomor – Koordinat – Posisi (Lintang-Bujur): (1) B2: 09° 23’ 30” S – 140° 49’ 30” T; (2) B2 : 09° 23’ 00” S – 140° 52’ 00” T; (3) A1: 09° 52’ 00” S – 140° 29’ 00” T; (4) A2: 10° 24’ 00” S – 139° 46’ 00” T; (5) A3: 10° 50’ 00” S – 139° 12’ 00” T; (6) A4: 10° 24’ 00” S – 138° 38’ 00” T; (7) A5: 10° 22’ 00” S – 138° 35’ 00” T; (8) A6: 10° 09’ 00” S – 138° 13’ 00” T; (9) A7: 09° 57’ 00” S – 137° 45’ 00” T; (10) A8: 09° 08’ 00” S – 135° 29’ 00” T; (11) A9: 09° 17’ 00” S – 135° 13’ 00” T; (12) A10: 09° 22’ 00” S – 135° 03’ 00” T; (13) A11: 09° 25’ 00” S – 134° 50’ 00” T; (14) A12: 08° 53’ 00” S – 133° 23’ 00” T; (15) A13: 08° 54’ 00” S – 133° 14’ 00” T; (16) A14: 09° 25’ 00” S – 130° 10’ 00” T; (17) A15: 09° 25’ 00” S – 128° 00’ 00” T; (18) A16: 09° 28’ 00” S – 127° 56’ 00” T; (19) A17: 10° 28’ 00” S – 126° 00’ 00” T; (20) A18: 10° 37’ 00” S – 125° 41’ 00” T; (21) A19: 11° 01’ 00” S – 125° 19’ 00” T; (22) A20: 11° 07’ 00” S – 124° 34’ 00” T; (23) A21: 11° 25’ 00” S – 124° 10’ 00” T; (24) A22: 11° 26’ 00” S – 124° 00’ 00” T; (25) A23: 11° 28’ 00” S – 123° 40’ 00” T; (26) A24: 11° 23’ 00” S – 123° 26’ 00” T; (27) A25: 11°35’ 00” S – 123° 14’ 00” T; (28) C1: 02° 08’ 30” S – 141° 01’ 30” T; dan (29 C2: Disesuaikan dengan Equidistance.
Pemerintah Republik Indonesia telah meratifikasi perjanjian ini dengan Keputusan Presiden RI No. 42 Tahun 1971. Persetujuan ini diberlakukan di kedua negara sejak tanggal 8 November 1973. Garis batas Dasar Laut antara Indonesia dan Australia di Pantai Utara Pulau Irian (New Guinea), adalah garis lurus yang ditarik dari titik perbatasan antara Irian Barat (wilayah Indonesia) dan Irian Timur (wilayah Papua) ke titik koordinat C1 dan titik koordinat C2 dengan ketentuan menarik garis lurus tersebut ke arah Utara (C2) adalah dengan prinsip sama jarak (Equidistance). Kedua pemerintah dalam persetujuan tersebut tidak mengatur penetapan batas daerah Dasar Laut masing-masing yang terletak di sebelah Barat 133° 23’ 00” T dan menunda penyelesaian masalah ini untuk di bahas dalam pembicaraan lanjutan yang akan diadakan pada waktu yang akan disetujui oleh kedua belah pihak.
Pantai Selatan Pulau Papua sebelah Barat 140° 49’ 30” T, batas antara daerah laut yang berbatasan dengan dan termasuk Republik Indonesia dan daerah yang berbatasan dengan dan termasuk Papua Timur dengan Selatan (Territory of Papua) adalah garis lurus yang menghubungkan titik 09° 23’ 30” S 140° 49’ 30” T (Titik B1) dengan titik 09° 52’ 00” S 140° 29’ 00” T (Titik A1), garis batas ini kemudian dilanjutkan dengan Persetujuan 1972.
Hak atas perikanan tradisional nelayan RI untuk melakukan kegiatan penangkapan ikan di wilayah-wilayah tertentu Australia (5 daerah) ditetapkan dalam MoU tahun 1974. Perjanjian antara Pemerintah RI dan Australia tentang Penetapan Batas Dasar Laut Tertentu di Daerah Laut Timor dan Laut Arafura adalah sebagai tambahan dan kelanjutan. Persetujuan tanggal 18 Mei 1971. Dan persetujuan ini dilaksanakan di Jakarta pada tanggal 9 Oktober 1972 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden RI No. 66 Tahun 1972 tanggal 4 Desember 1972.
Daerah yang ditetapkan batasnya adalah sebelah Selatan Kep. Tanimbar Laut Arafura (A13-A16) dan daerah sebelah Selatan Pulau Roti serta Pulau Timor (A17-A25), di Laut Arafura, garis batas ini menyambung dengan garis batas yang dibuat berdasarkan Persetujuan tahun 1971 (A1 – A12), dengan catatan: Sisa wilayah laut di sebelah Selatan Pulau Timor pada tahun 1989 ditetapkan pengaturan sementara dengan Traktat Celah Timor.
Pemerintah RI dan Australia pada bulan November 1974 telah menandatangani MoU Kerja Sama Perikanan di zona perikanan eksklusif dan landas kontinen Australia (Indonesia – Australia MoU regarding the Operations of Indonesian Traditional Fishermen in Areas of the Australian Fishing Zone and Continental Shelf 1974). Dengan MoU ini Pemerintah Australia membolehkan nelayan tradisional Indonesia untuk menangkap ikan di perairan sekitar Ashmore Reef Cartier Islet, Scott Reef, Seringapatam Reef dan Drowse Islet. Namun nelayan tradisional Indonesia dilarang untuk menangkap penyu dan melakukan tindakan yang dapat merusak lingkungan hidup di wilayah perairan tersebut.
Pada bulan April 1989, kedua negara menyepakati petunjuk teknis implementasi MoU untuk memperjelas batas- batas wilayah yang dapat dimasuki oleh nelayan tradisional Indonesia dan mengatur wilayah operasional nelayan tradisional Indonesia di Ashmore Reef dan sekitarnya menjadi suatu wilayah berbentuk kotak (MoU box area). Rujukan kepada cara atau metode tradisional diperjelas, yakni tanpa menggunakan perahu bermotor. Pendekatan kepada metode tradisional ini dalam perkembangannya menciptakan masalah dalam implementasi MoU Box karena tidak sesuai dengan perkembangan dan aspirasi yang berkembang pada nelayan tradisional di NTT. Permasalahan yang muncul di dalam praktek MoU Box antara lain: (1) Di dalam kawasan karena nelayan tradisional melakukan penangkapan ikan dengan menggunakan perahu bermotor (metode penangkapan non-tradisional); penangkapan ikan selain yang dibolehkan di dalam MoU; atau menangkap jenis ikan yang dilarang menurut Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES) atau konvensi perdagangan internasional tumbuhan dan satwa liar spesies terancam antara lain: hiu untuk diambil siripnya (animal cruelty); (2) Di luar MoU Box, pelanggaran terjadi di wilayah tumpang tindih yurisdiksi Zona Ekonomi Eksklusif dan landas kontinen Indonesia – Australia terhadap jenis ikan sedenter (yang hidupnya melekat di dasar laut) dan dilakukan tanpa izin pihak Australia.
Pemerintah RI menegaskan bahwa dibolehkannya penangkapan ikan oleh nelayan tradisional Indonesia di MoU Box area merupakan pengakuan Australia atas hak tradisional nelayan Indonesia sesuai dengan fakta bahwa kegiatan tersebut telah dilakukan secara turun-temurun. Sebaliknya, penggunaan metode non-tradisional tentang cara-cara penangkapan ikan tidak dapat menghilangkan hak tradisional di mana hal ini sesuai dengan putusan hukum dan praktek sejumlah negara terhadap hak aborigin, termasuk juga di Australia sendiri. Indonesia menyambut baik usulan kerangka kerja sama guna implementasi lebih lanjut MoU Box namun hendaknya sejalan dengan ketentuan hukum internasional. Berkenaan dengan konservasi perikanan di perairan MoU Box, Indonesia berpandangan bahwa konservasi tidak dapat menghapuskan hak-hak nelayan tradisional Indonesia di kawasan dimaksud. Oleh karena itu, Prof. Yusuf Leonard Henuk, Ph.D telah menegaskan bahwa Indonesia Harus Terapkan Pasal 51 UNCLOS 1982 Guna Perjuangkan Hak Penangkapan Ikan Nelayan Tradisional Indonesia di Gugusan Pulau Pasir (*).
Sumber Bacaan:
1. Susmoro, H., Nugroho, H.D. dan Handwiono, Y. (2019). BUNGA RAMPAI PENETAPAN BATAS MARITIM RI – NEGARA TETANGGA (Peran Pushidrosal dalam Mendukung Diplomasi Maritim Indonesia). PUSAT HIDROGRAFI DAN OSEANOGRAFI TNI AL (PUSHIDROSAL), Jakarta. 2. Henuk, Y.L. (2023a). INDONESIA MUST ACT TO REGAIN ITS RIGHTS TO THE PASIR ISLAND CLUSTER FROM AUSTRALIA(INDONESIA HARUS BERTINDAK MENDAPATKAN KEMBALI HAK ATAS PULAU PASIR). Linkedin.com, 15 April 2023.[https://www.linkedin.com/pulse/indonesia-must-act-regain-its-rights-pasir-island-cluster-henuk/?originalSubdomain=id].
3. Henuk, Y.L. (2023b). Indonesia Must Act To Regain Its Rights To The Pulau Pasir Cluster from Australia. Kompasiana.com, 20 April 2023.[https://www.kompasiana.com/profesirhenuk9032/644094f94addee0d8c412a92/indonesia-must-act-to-regain-its-rights-to-the-pulau-pasir-cluster-from australia].
4. Henuk, Y.L. (2023c). Indonesia Harus Bertindak Ambil Kembali Gugusan Pulau Pasir Dari Australia Melalui Arbitrase. SorotNTT.com, 18 April 2023.[https://sorotntt.com/indonesia-harus-bertindak-ambil-kembali-gugusan-pulau-pasir-dari-australia-melalui-arbitrase/]. 5. Henuk, Y.L. (2023d). Indonesia Harus Terapkan UNCLOS 1982 Guna Perjuangkan Hak Penangkapan Ikan Nelayan Tradisional Indonesia di Gugusan Pulau Pasir. ExpoNTT.com, 21 April 2023 [https://www.expontt.com/opini/44679/indonesia-harus-terapkan-unclos-1982-guna-perjuangkan-hak-penangkapan-ikan-nelayan-tradisional-indonesia-di-gugusan-pulau-pasir].