Opini  

Bahasa Daerah Terancam Punah: Siapa yang Salah?

ilustrasi

Generasi Muda dan Misi Penyelamatan Bahasa daerah

Oleh: Agusto Royfanyo Kewuan

(Mahasiswa IFTK Ledalero)

Manusia menciptakan Bahasa yang luar biasa luwes, dimulai sejak kemunculan cara-cara baru dalam berpkir dan berkomunikasi yang disebut revolusi kognitif, antara 70.000 dan 30.000 tahun lalu. Bahasa tersebut bukan Bahasa pertama. Setiap hewan memiliki semacam Bahasa tersendiri. Ahli zoologi telah mengidentifikasi satu panggilan dalam kelompok kera hijau yang berarti”hati-hati! Elang!” sedangkan panggilan lain yang agak berbeda mengingatkan, “hati-hati! Singa!” para ahli lalu merekam panggilan tersebut dan memutarnya di habitat kera hijau. Ketika mendengar panggilan yang pertama, kelompok moyet menghentikan kesibukan mereka dan melihat ke atas dengan memanjat pohon.

Namun berbeda dengan makhluk lain. manusia bisa menghasilkan dan menyambungkan bunyi dan tanda dalam jumblah terbatas, masing-masing dengan bahasanya. Karena itu kita boleh menelan, menyimpan, dan menympaikan banyak sekali informasi mengenai dunia di sekelilig kita. Monyet hijau bisa meneriak kepada rekan-rekannya, “hati-hati! Singa!” tetapi manusia moderen dapat memberitahukan kepada teman-temannya bahwa pagi ini, di dekat lekukan Sungai dia melihat singa melacak sekawanan bison. Dia kemudian menjabarkan di mana persisnya dia melihat kejadian itu, termasuk berbagai jalan yang mengarah ke sana. Dengan informasi itu, anggota-anggota kawanannaya dapat berkumpul dan merembuk apakah mereka harus menghalau singa dan memburu bison.

Bahasa adalah medium untuk menyatakan kesadaran, tidak sekedar mengalhikan informasi, Bahasa menyatakan kesadran dalam konteks sosial. Dengan Bahasa manusia dapat menjalin komunikasi dan berkembang di dalamnya sebagai makhluk sosisal yang saling bergantung satu sama lain.

Setiap daerah memiliki Bahasa daerahnya masiang-masiang. Perbedaan Bahasa ini dilatarbelakangi oleh banyak faktor seperti perbedaan budaya dan lingkungan penuntunnya,atau juga interaksi antara kebudayaan di dalamnya. Dengan latar belakang Bahasa yang berbeda inilah, muncul linguna franca seperti Bahasa inggris sebagai Bahasa pemersatu dalam komunkasi gelobal, sama seperti Bahasa Indonesia sebagai Bahasa nasional. Banyak orang berlomba-lomba untuk mempelajari Bahasa asing sebagai kemampuan khusus yang diminati. Bahasa inggris, jerman, jepang dan bahasa-bahasa asing lain dimasukan dalam kurikulum sekolah sebagai mata Pelajaran tambahan. Sayangnya, seiring perjalanan waktu peningkatan minta belajar Bahasa asing terjadi bersamaan dengan turunnya minat Masyarakat terutama generasi muda terhadap pengunaan Bahasa daerah. Apakah Bahasa daerah akan berakhir seperti ramalan komika asal NTT, Abdur Arsyad, “tidak masuk dalam kurikulum, sedikit lagi masuk museum.

KRISIS BAHASA LOKAL: PENYAKIT “LUPA” ZAMAN MODEREN

Abdur Arsyad dalam sebuah episode Stand Up Comedy, pernah mengeluarkan guyonan seperti ini, “sebenarnya saya mau datang ke sini terus main sesando. Alat musik asli NTT. Cuman apa daya saya tidak bisa main sesando. Tetapi, teman-teman di NTT sekalipun belajar main sesando tidak masuk dalam kurikulum. Sedikit lagi masuk museum.

Guyonan ini memang disambut galak tawa para penonton, tetapi sebenarnya ucapan ini mau menyadarkan kita bahwa kebudayaan lokal kita berada dalam situasi krisis dan butuh revitalisasi. Tidak hanya alat music saja, tapi juga Bahasa daerah.

Pada 25 ferbuari 2015, badan riset amerika, Swifkey menemukan bahwa Indonesia adalah negara trilingual terbanyak di dunia dengan sumbangan 17% pengguna Bahasa Indonesia, jawa, dan inggris. Pada tahun 2011-2019, kementrian Pendidikan dan kebudayaan mengidentifikasi Bahasa daerah dalam enam kategori, aman, rentan, mengalami kemunduran, terancam punah, kritis, dan punah. Hasil identifikasi menyatakan, 11 bahasa daerah dinyatakan punah, belum termasuk Bahasa daerah yang dinyatakan kritis, terancam punah, mengalami kemunduran, maupun yang rentan. Tidak hanya Indonesia, kepunahan juga dialami kira-kira 7000 bahasa daerah di seluruh dunia. UNESCO menyatakan, setiap minggu, satu Bahasa di dunia dinyatakan punah.

Bagaimana dengan Indonesia? Kita memiliki 718 bahasa daerah yang tercatat dan 400 diantaranya terancam punah terutama Bahasa-bahasa daerah di Indonesia bagian timur. Peta Bahasa telah memetakan banyaknya Bahasa yang ada di Indonesia dan posisi teratas ditempati oleh Indonesia bagian timur. Provinsi papua menempati urutan pertama dengan 326 bahasa daerah, provinsi papua barat menempati urutan kedua dengan 102 bahasa daerah, dan NTT menempati urutan ketiga dengan 72 bahasa daerah. Inilah jumblah yang tercatat. Tidak menutup kemungkinan, bahwa masih ada Bahasa daerah yang belum tercataat, ditambah lagi dengan begitu banyak dialek yang kita gunakan. Namun Bahasa-bahasa daerah ini dinyatakan banyak secara kuantitas Bahasa, sedankan dalam hal kualitas, dalam artian intensitas penggunaan dan status, Bahasa daerah kita dinyatakan kritis. Kita terlalu bergairah dalam moderenisasi dan gelobalisasi di mana untuk menyesuaikan memudarnya batas-batas negara, kita getol mempelajari Bahasa asing serta lupa dengan Bahasa lokal nenek moyang kita sendiri.

Bahasa Lokal: Stampel Identitas Kita

Apa yang harus kita sadari adalah kita punya begitu banyak kekayaan, bahkan hanya satu bidang, linguistik, tetapi tidak memeliharanya. Linguistik hanya satu dari sekian banyak unsur plural yang menjadikan kita Istimewa, dan bila kita mengangap remeh, kita akan kehilangan salah satu harta yang sangat penting dan berharga yaitu kekayaan linguistic.

Meminjam ungkapan Leanne Hinton, punahnya suatu Bahasa sama dengan punhanya suatu peradaban, karena Bahasa merupakan kunci untuk mengakses segalah pengetahuan, gejala alam, teknologi, obat-obatan sampai cerita kuno. Bahkan imperium Eropa pada masa penakluhkan William jones yang tiba di India pada september 1873 percaya, bahwa agar bisa memerintah secara efektif, mereka harus mengetahui Bahasa-bahasa dan budaya rakyat, para perwira britania yang tiba di india waktu itu diharuskan menghabiskan waktu tiga tahun di Kolkata untuk mempelajari Bahasa local seperti urdu, Persia dan sansekerta, selain Yunani dan latin.

Krisisnya status Bahasa-bahasa lokal terjadi karena banyak faktor. Menurut Aminudin Azis, kepala badan pengembangan dan Pembangunan Bahasa, krisis Bahasa daera terjadi lantaran letak geografis daerah pengunaan Bahasa yang terpencil dengan jumlah penduduk yang sedikit, membuat Bahasa daerahnya sulit di Lestari. Di satu sisi akses interaksi sulit dan di sisi lain, banyak Masyarakat yang pergi merantau keluar daerah. Selain itu faktor yang lain seperti keharusan anak-anak mengunakan Bahasa Indonesia dan Bahasa-bahasa asing dalam pembelajaran, serta rasa cinta Bahasa daerah yang memudar karena dianggap kolot oleh generasi muda juga membuat bahasa-bahasa daerah kita akhirnya menyandang status kritis. Di masa ini, orang berlomba-lomba mempelajari Bahasa asing. Menyambut globalisasi yang semakin pesat dan mempersempit batas-batas negara, Bahasa asing tentu sangat dibutuhkan untuk membangun Kerjasama dan mendulang keuntungan. Namun sayangnya kita tidak menyadari bahwa Bahasa lokal yang membangun peradaban kita, berada di ambang kepunahan.

Penutup

Indonesia adalah salah satu negara dengan warisan budaya yang terbanyak di dunia. Kebudayaan yang beragam ini di antaranya adalah bahasa. Sebagai media komunikasi, bahasa menjadi warna khas dari suatu daerah yang identik. Namun dengan perkembangan sains dan teknologi dewasa ini, warisan terhadap penggunaan bahasa lokal mengalami penurunan yang begitu drastis. Karena masalah ini cenderung belum dapat diatasi, maka perlu adanya kerja sama antara Mentri Pendidikan, BPPB (Badan pengembangan dan pembinaan Bahasa) dan pemimpin budaya setempat, agar dapat memasukan bahasa lokal ke dalam kurikulum sebagai bentuk kewaspadaan terhadap punahnya penggunaan bahasa daerah dalam kehidupan setiap hari, serta menjaga warisan leluhur sebagai peninggalan yang berharga di daerah yang identik dengan kekhasannya.