Turun Lembah

Cerpen: Aster Bili Bora

 

KALAU akan ke Reda Bolo, hendaklah siap mental. Jalan setapak berbatu karang tajam, hutan menutup cahaya matahari, kubur leluhur berserakan, bunyi burung hantu seperti teriakan bayi, dan tebing curam menganga bagian baratnya. Mengerikan dan juga menakutkan, lebih-lebih bagi pendatang baru.

Nenek moyang Bolo Dadi yang pertama membangun rumah di Reda Bolo. Dari puncak bukit Reda Bolo dengan mudahnya mata melihat semua hal yang mau dilihat sampai ke laut lepas. Karena bisa melihat semua sekali tembus pandang mata, maka nenek moyang Bolo Dadi memberi nama bukit itu dengan nama Reda Bolo.

Reda Bolo awalnya sangat ramai oleh pengunjung. Kini kosong tak bertuan! Tinggal kera, bunyi angin di antara dedaunan, dan burung-burung yang bikin ramai suasana. Penghuninya mencari daerah baru yang berpeluang mendatangkan hidup bahagia. Bagi mereka, Reda Bolo identik dengan neraka dunia pembawa malapetaka: kelaparan, kebodohan, kesakitan, dan kematian.

Proses mencari daerah baru yang potensial disebut turun lembah. Reda Bolo yang kebanyakan batu karang dari lereng hingga puncak terus terang tidak memenuhi harapan warga sesuai tuntutan kemajuan saat ini. Warganya rajin, bukan malas kalau hingga kini hidup menderita. Alam yang tidak bersahabat. Karena itu, warga meninggalkan Reda Bolo karena kenyataan manusia tidak hidup dengan batu karang yang berserakan di mana-mana.

Alhamdulillah, orang tua Bolo Dadi menemukan daerah baru yang menurut pengakuannya sendiri sebagai surga dunia: rata, tidak berbatu, subur, masih kosong, dan sangat luas. Di daerah baru itulah orang tua Bolo Dadi menghabiskan napsu bertani yang sudah tertahan lama. Ia membuka kebun 10 hektare. Dengan kebun yang seluas itu, orang tua Bolo Dadi berharap tahun pertama bua kabela, yaitu: impian yang tersembunyi akhirnya ketahuan setelah perian bambu pecah oleh kesuksesan yang luar biasa dalam bidang pertanian. Sekurang-kurangnya bermimpi mendapat hasil panen: 50 ton jagung dan 30 ton padi.

Namun apa yang terjadi kemudian? Babi hutan menghajar ludes isi kebun. Pemilik kebun cuma dapat untuk menutupi kebutuhan 2 bulan. Sepuluh bulan berikutnya orang tua Bolo Dadi mengalami penderitaan yang jauh lebih hebat ketimbang berada di Reda Bolo. Hatinya kesal tiada dua, baik tidak baik Reda Bolo lebih baik. Meski demikian, ia tidak bakalan kembali pulang Reda Bolo. Kalau sudah maju, maka tidak boleh lagi kembali belakang. Maju terus pantang mundur sampai sukses.

Orang tua Bolo Dadi merancang strategi pendekatan yang ampuh untuk membasmi babi hutan. Pertama, mengajak 9 Kepala Keluarga dari kecamatan asal untuk juga turun berkebun di daerah tak bertuan. Lahan-lahan kosong yang belum jadi kebun, dibagi sesuai kemampuan menggarap masing-masing. Kedua, minta izin secara adat kepada nenek moyang Reda Bolo dengan harapan tahun-tahun berikutnya arwah leluhur mengusir bala bencana yang akan menimpa anak-cucu. Ketiga, bergotong royong melakukan perburuan dengan target maksimal enam bulan kemudian babi hutan total musnah.

Dendam membunuh akhirnya selesai. Dalam tempo hanya empat bulan berburu babi hutan terbunuh tanpa sisa. Orang tua Bolo Dadi dan kawan-kawan merdeka. Musim tanam tahun kedua mereka mendapat hasil panen padi dan jagung yang melimpa rua. Penderitaan mulai moyang ke nenek dan dari nenek ke cucu terhapuslah sudah. Bolo Dadi yang selama berada di Reda Bolo pantatnya belum pernah sentuh motor, sekarang apa kabar. Honda BeAt keluaran terbaru bersamanya kapan dan di mana pun akan pergi. Perempuan-perempuan muda yang mungkin selama itu tidak hewel, sekarang mata tabalala dan secara diam-diam berharap kapan pemuda ganteng Bolo Dadi menyatakan: “I love you so much.”

Dua puluh tahun kemudian terbentuk kabupaten baru dengan rencana lokasi pusat pemerintahan di desa orang tua Bolo Dadi. Pengaruh malu disebut orang hutan yang hanya bergaul dengan babi hutan, orang tua Bolo Dadi dan Bolo Dadi sendiri bersemangat mau jadi orang kota. Maka tanah garapan 10 hektare dihibahkan untuk selanjutnya sebagai aset PEMDA. Demikian pula 9 KK lain ikut juga berkontribusi sehingga totalnya 20 hektare.

Kabupaten baru itu memiliki potensi yang luar biasa, lebih-lebih potensi bidang wisata. Objek-objek wisata yang awalnya sepi, sekarang ramai pengunjungnya. Begitu pula para investor yang mula-mula masih ragu, kini berebut membeli lahan. Tanah milik warga yang sebelum pemekaran semahal-mahalnya 10 juta per hektare, setelah pemekaran melejit di angka 1 miliard rupiah. Bermunculan OKB-OKB. Orang Kaya Baru! Di depan rumah tiba-tiba ada mobil fortuner, pajero, dan truck beberapa unit.

Bolo Dadi tergolong OKB. Tanah 2 hektare laku dengan harga 3 miliard rupiah. Rumah alang yang diidentikkan RSS ia bongkar buang dan ia ganti dengan rumah mewah nilai minimal 1 miliard. Di depan rumah mewahnya bertengger 1 unit pajero Sport dan di samping rumah 1 unit truck nol kilo. Setiap orang yang lewat dan melihat langsung seperti apa perubahan Bolo Dadi, mereka hanya mengangguk bangga dan berkata: “Cuka minyak!”

Setelah jadi OKB, Bolo Dadi ketagihan main judi. Mungkin bukan karena keturunan penjudi, maka Bolo Dadi tidak pernah untung. Rugi terus! Uang tanah hampir habis, sementara pemasukan mobil nihil, karena mobil baginya hanya perhiasan belaka sebagai simbol status OKB. Supaya tetap disebut OKB, maka Bolo Dadi akan menjual lagi tanah warisan seluas 2 hektare. Mudah-mudahan urat tangan hoki sehingga tanah laku terjual dengan harga minimal 4 miliard. Namun setelah keliling sana-sini, tidak ada satu investor yang menawar. Mau jual pada orang lokal, orang lokal mana yang kaya. Paling beraninya 10 juta per hektare. Lebih baik tidak usah, daripada bikin kenyang orang lain yang bukan pemilik.

Dalam arena perjudian Bolo Dadi melihat Walu selalu untung. Kalau sesekali rugi, mungkin saja faktor kebetulan atau sengaja agar tidak kentara. Modal Bolo Dadi sendiri sudah jatuh di tangan Walu sekitar 200 juta rupiah. Bolo Dadi berpikir, bahwa Walu pasti pakai obat judi atau sekurang-kurang ia pakai tuyul. Karena itu, Bolo Dadi mau berguru pada Walu dengan harapan bisa untung setara Walu atau di bawah Walu. Yang penting, tidak kalah melulu.

“Walu, jangan ingin kaya sendiri e..! Bagi-bagi dulu!” Walu tidak paham, lalu bertanya agak heran apa, mengapa, dan bagaimana.

“Saya lihat tiap kali judi, Walu selalu saja untung. Tolong saya juga, ole!”

“Apa itu?”

“Obat.”

“Tidak ada.”

“Tidak percaya!” Bantah Bolo Dadi

“Serius, tidak pakai obat,” jawab Walu.

“Tidak pakai mana kaumenang terus.”

“Tidak percaya? Andalan saya hanya bisikan hati nurani. Hati nurani bilang apa itu yang saya ikut. Tidak pakai obat kawan, bikin apa sumpah.”

“Berhenti! Macam hanya engkau saja yang punya hati nurani.”

“Kalau tidak percaya, sudah to,” kata Walu sebelum melanjutkan perjalanan pulang ke rumah.

Sambil terus berusaha pendekatan dengan Walu, Bolo Dadi mencoba lagi peruntungan. Ia gadai mobil Pajeronya dengan nilai 150 juta rupiah sebagai modal judi. Alam bawah sadarnya berbisik, kalau yang lain bisa untung, maka saya harus lebih untung. Namun kenyataannya beda dengan harapan. Bolo Dadi terus saja kalah. Uang 150 juta dalam seminggu habis. Lima puluh juta jatuh di tangan Walu. Kecurigaan Bolo Dadi makin tajam, bahwa Walu sudah pasti pakai obat. Kalau bukan pengaruh obat, hebat apa memang dia. Ia pergi ke rumah Walu dan merengek macam anak kecil.

“Tolong betul, ge Ole! Istri minta cerai kalau kalah terus. Apa Walu tidak ikut sedih kalau akhirnya saya disebut duren. Engkau tahu istilah duren apa tidak?”

“Apa itu? Saya baru dengar,” kata Walu.

“Aduh, ketinggalan sekali. Nanti tanya sendiri pada teman lain. Sekarang kita kembali yang pokok. Saya bukan main-main. Tolong betul, ge ole. Kita ini teman dari dulu, engkau sudah pasti tahu apa yang saya rasakan. Kalau engkau berikan sekarang, maka hari ini juga saya serahkan kunci truck. Tidak baik kalau engkau kaya sendiri sementara saya hidup melarat. Bagaimana sudah penerapan hukum kasih?”

“Aduh, kawan, kenapa sampai hukum kasih memang? Kalau ada, saya pasti bilang ada. Kalau tidak ada, lalu saya bilang ada, apa bukan dosa? Dari dahulu saya tidak tahu obat yang macam apa. Demi Tuhan!”

Bolo Dadi pulang dengan segudang kekecewaan. Alam bawah sadarnya tetap berkata, bahwa Walu sumpah omong kosong untuk sembunyi kuku. Kalau tidak ada ilmu, lucu amat tidak pernah rugi. Namanya judi hanya dua kemungkinan: kalau bukan untung, maka sudah pasti rugi. Hari ini untung, beberapa hari kemudian rugi. Sebaliknya juga demikian. Tetapi yang terjadi pada Walu, ia untung melulu. Apa bukan kerja obat?

Beberapa hari kemudian Bolo Dadi ketagihan main. Tetapi mau main pakai apa? Uang sepeser sudah tidak punya. Terpaksa pinjam dengan gadai BPKB Truck. Oba berikan dua puluh lima juta rupiah. Sebelum berangkat ke tempat judi, Bolo Dadi sembayang mati punya di kamar tertutup. Ia perdengarkan suaranya pada orang mati Reda Bolo dengan nazar dua tahun yang akan datang beri makan leluhur. Ia minta tanda kasih sayang leluhur dengan untung melintang di meja judi dari sekarang.

 Kemudian Bolo Dadi pergi berjudi dengan keyakinan, bahwa ia pasti untung ratus-ratus juta karena leluhur menopang dari belakang. Sepanjang malam Bolo Dadi bermain. Sekitar jam 24.00 ia untung 150 juta. Hatinya berbunga-bunga, dengan modal 25 juta tapi sudah masuk 150 juta. Ia makin tekad, kalau boleh sampai pagi bisa raup 400 juta. Tetapi apa yang terjadi? Jam 5.00 ia kembali di titik nol, modal 25 juta berangkat. Walu yang paling untung. Ia pulang dengan koko uang 300 juta. Sedangkan Bolo Dadi temui istri-anak dengan dompet kosong, badan loyo, dan mata merah.

Ketika bangun dari tidur siang, Bolo Dadi lapar lalu minta sarapan. Istri berikan nasi kosong dari beras bau karung. Bolo Dadi comel dalam hati tanpa suara. Ia tahu diri duduk sepanjang malam tidak ada hasil apa-apa. Ia paksa makan karena perutnya sudah sangat kosong. Pertengahan makan, istri mendekat dan bertanya berapa yang diuntung. Bolo Dadi menjawab apa adanya, bahwa modal 25 juta sudah berangkat semua. Sambil ambil piring, istri kecam leluhur dengan pernyataan yang sangat konyol:

“Da beramu pamilaka! Dokola dua pataiko da larana!”

Dua hari kemudian Bolo Dadi asah parang berulang-ulang. Istri melihat suaminya kerja macam orang gila. Parang sudah tajam diasah dan diasah ulang.

“Engkau hanya asah parang. Tidak ada kerja lain!” Bolo Dadi melototi istri dan menyuruh diam dengan palang telunjuk di tengah bibir. Walaupun tidak paham untuk apa asah parang ulang-ulang, istri terpaksa diam karena sudah ada pengalaman yang menyakitkan. Dua tahun yang lalu karena sesuatu hal, Bolo Dadi memerintah istrinya supaya tutup mulut dengan palang telunjuk di bibir. Istri kepala angin dan makin comel dengan umpatan-umpatan kasar. Maka apa yang terjadi? Istri kena hajar sampai bibir pecah.

Untuk tidak kena hajar dua kali, maka istri masuk kamar dan tidur sampai malam. Ketika bangun jam 21.00, hujan lebat, guntur- kilat, dan gelap gulita. Sangat mengerikan! Istri Bolo Dadi menggigil ketakutan seorang diri. Keempat anak yang masih kecil sudah ketiduran, dan tidak paham apa yang akan dan sedang terjadi. Bolo Dadi tidak ada, entah ke mana. Istri berkali-kali telpon, tetapi selalu luar jangkauan. Ketahuan kemudian HP mati dan tersimpan di kamar anak-anak.

Jam 23.00 ketika hujan mulai reda, Bolo Dadi pulang dengan basah kuyup. Di teras belakang dekat dapur ia menanggalkan seluruh pakaiannya yang basah. Handuk yang tergantung di tali jemuran, ia tarik dan melap seluruh badan. Kemudian ia masuk di kamar istri dengan badan telanjang. Istri tidak siap mental, lalu pergi tidur di kamar anak-anak karena badan Bolo Dadi bau mayat luar biasa.

Keesokan hari sekitar jam 10.00 warga geger bukan main. Dalam kebun jagung depan rumah Rafael ditemukan karung penuh isi. Setelah diamati dari dekat ternyata orang. Dari berita ke berita, maka dalam waktu yang relatif singkat polisi tiba di lokasi. Karung dibuka dan diperiksa apa isinya. Ternyata benar manusia. Kulit kepala dan wajahnya dikupas habis, anggota tubuhnya dimutilasi. Sulit diketahui siapa korban dan siapa pula pelakunya. Warga kebingungan dan juga ketakutan kalau dituduh macam-macam. Untung ada aliran darah. Warga bersama polisi menjejaki TKP dengan mengikuti aliran darah korban. Dalam perjalanan ditemukan topi, sandal, dan STNK. Ditelusuri lebih jauh lagi dalam semak belukar ditemukan motor yang dibuang. Semua data cocok, dan diketahui dengan pasti siapa korban dalam karung.

  ***

Kiranya sudah tidak penting dibuka motif pembunuhan dalam kebun jagung. Korban sudah dikubur dengan aman oleh keluarga. Karung tempat korban mungkin sudah jadi tanah. Berita terkini yang masih aktual, pelaku sedang di penjara. Terbukti sebagai pelaku pembunuhan berencana dengan hukuman 20 tahun masa kurungan. Pelakunya Bolo Dadi dan Walu adalah korbannya. Kaus merah bernoda darah sebagai barang bukti, dan kaus merah itu adalah milik Bolo Dadi sesuai kesaksian Jelu (8 tahun) anak sulung pelaku.

Baru satu tahun Bolo Dadi dalam penjara, istrinya meninggal dunia karena kurang darah. Keempat anak kehilangan induk. Mereka dibagi kepada keluarga seperti anak ayam saja. Jelu yang sulung diambil Nabas yang adalah kerabat Bolo Dadi, anak kedua dan keempat diambil oleh paman dari istri Bolo Dadi, dan anak yang ketiga diasuh oleh ipar Bolo Dadi.

Menyaksikan kenyataan hidup berpisah dengan ketiga adik kandung, Jelu tidak sanggup menampung sakit hati dan sedihnya. Ia mengambil parang dan mau potong diri. Untung sempat dilihat sebelum parang penyentuh leher. Parang dibuang jauh. Nabas datang memeluk Jelu dengan air mata.

“ Engkau tidak salah kalau sakit hati. Engkau juga benar kalau mengutuk diri mengapa lahir dari orang tua yang penjudi dan pembunuh. Namun, saya minta engkau buang jauh-jauh segala beban yang menindih jiwamu. Saya masih ada yang siap mendampingi tumbuh kembangmu dengan kasih sayang.”

Tambolaka, 10 Maret 2022

Catatan:

  1. Bua kabela ( makna denotasi): pecah perian bambu
  2. Hewel: perhatikan
  3. Tabalala (bahasa gaul): mata terbuka, lirit sana-sini
  4. Ole: kawan, teman
  5. Koko: bawa, pikul
  6. Da beramu pamilaka. Dokola dua pataiko, da larana: Lebih baik disambar kilat, puja-puji tidak ada guna-gana.

 

Aster Bili Bora, sastrawan, mantan ketua PGRI Sumba Barat Daya, NTT.

Aster Bili Bora, sastrawan tinggal di Tambolaka, Kabupaten Sumba Barat Daya, NTT. Email: asteriusbilibora@gmail.com

Antologi cerpennya: Bukan sebuah jawaban (1988), Matahari jatuh (1990), Bilang saja saya sudah mati ( 2022), dan yang akan menyusul terbit: antologi cerpen Laki yang terbuang, dan antologi Lahore. Karya novel yang sedang disiapkan: Laki yang kesekian-sekian. Antologi bersama pengarang lain: 1) Seruling perdamaian dari bumi flobamora tahun 2018 2) Tanah Langit NTT tahun 2021, 3) Gairah Literasi Negeriku tahun 2021