Oleh: Ilhamsyah Muhammad Nurdin
Masyarakat Padepokan Ujung Pasir, NTT
Sepak bola Nusa Tenggara Timur (NTT) kembali menelan pil pahit. Kini, bukan hanya soal hasil pertandingan yang mengecewakan, tetapi juga ketidakpedulian pemerintah daerah dan Asprov PSSI NTT terhadap masa depan olahraga yang sangat dicintai ini.
Persebata, tim sepak bola U-15 dari Lembata, yang mewakili NTT dalam Piala Soeratin U-15 di Yogyakarta, harus berjuang tanpa dukungan signifikan dari pihak yang seharusnya mendukung: pemerintah provinsi dan Asprov PSSI NTT.
Ketika para atlet muda ini berangkat ke Yogyakarta untuk bertanding, mereka tidak mendapatkan dukungan dari anggaran yang katanya disediakan oleh PSSI untuk setiap Asprov, termasuk Asprov NTT.
Sumber dana yang digunakan untuk perjalanan tersebut berasal dari donatur pribadi, seperti Kaya Tene Group, pemilik SPBU Lamahora, serta individu-individu yang peduli terhadap masa depan sepak bola di Lembata. Ini menunjukkan bahwa tanpa campur tangan pemerintah atau PSSI, perjuangan anak-anak muda ini tetap terjalankan, meski tanpa fasilitas memadai.
Sekedar seremonial pelepasan, yang seharusnya menjadi bentuk apresiasi terhadap atlet yang mengharumkan nama daerah, tidak dilakukan sama sekali. Malah, yang terjadi adalah sepi, seolah-olah keberangkatan tim Persebata ini hanya urusan kecil yang tidak perlu mendapat perhatian lebih.
Yang lebih ironis, ini terjadi di tengah pengumuman bahwa PSSI telah menambah anggaran untuk setiap Asprov, yang kini mencapai Rp500 juta. Lalu, kemana saja uang tersebut? Apa yang dilakukan Asprov PSSI NTT dengan dana yang melimpah tersebut, kalau bukan untuk mendukung keberangkatan tim yang mewakili provinsi ini di kancah nasional?
Dilansir dari berbagai sumber, termasuk Antara News, PSSI menambah anggaran untuk setiap Asprov menjadi Rp500 juta. Namun, sepertinya uang tersebut hanya beredar di koridor-koridor birokrasi yang tidak memberi manfaat langsung bagi atlet sepak bola. Pertanyaan besar pun muncul: kemana perginya anggaran yang katanya untuk mendukung pembinaan dan pengembangan sepak bola di setiap provinsi? Bukankah anggaran ini seharusnya digunakan untuk memfasilitasi tim-tim yang mewakili daerah dalam kompetisi besar, seperti Soeratin Cup yang diikuti oleh Persebata?
Bahkan, dalam pertemuan dengan Syukur Wulakada, wakil dari Askab PSSI Lembata, ditemukan kenyataan pahit bahwa bantuan finansial yang diterima oleh Persebata untuk bisa berlaga di Yogyakarta datang dari pihak swasta.
Ini adalah ironi besar yang harusnya menjadi bahan perenungan bagi Asprov PSSI NTT dan pemerintah provinsi. Apakah ini yang disebut dengan “perhatian” terhadap sepak bola daerah?
Tidak ada yang lebih menyedihkan daripada melihat anak-anak muda berbakat berjuang dengan segala keterbatasan yang ada, sementara anggaran yang melimpah seakan hilang begitu saja tanpa memberikan dampak nyata.
Dalam pertandingan yang digelar pada 7-11 Desember 2024, tim Persebata memang menunjukkan semangat dan kemampuan yang patut diapresiasi. Meski kalah 2-1 dari Riau, 6-1 dari DKI Jakarta, dan imbang 2-2 melawan Sulawesi Barat, hasil tersebut tidak sebanding dengan perjuangan mereka. Sebab, mereka bertarung bukan hanya melawan tim lawan, tetapi juga melawan ketidakpedulian yang sistematis dari pihak-pihak yang seharusnya mendukung mereka.
Dalam konteks ini, kita bertanya: apakah anggaran yang diberikan oleh PSSI kepada Asprov NTT tidak pernah sampai pada tim yang berkompetisi? Apakah uang sebesar itu hanya berputar di meja-meja pejabat dan tidak pernah menyentuh langsung ke akar rumput, di mana atlet muda berlatih dan bertanding?
Sementara itu, beberapa organisasi sepak bola lainnya sudah mulai memberikan contoh baik dengan menggunakan dana tersebut untuk kepentingan langsung atlet dan tim, Asprov PSSI NTT tampaknya lebih sibuk dengan urusan administratif yang tidak jelas.
Lalu, apa gunanya anggaran yang begitu besar jika tidak digunakan dengan bijak untuk pengembangan sepak bola di NTT? Apakah Asprov PSSI NTT lebih mementingkan kekuasaan dan status mereka di dalam federasi daripada masa depan anak-anak muda yang berjuang membawa nama NTT?
Berkaca pada kenyataan ini, seharusnya ada langkah konkret dari pemerintah dan Asprov PSSI NTT untuk segera meninjau dan mengaudit penggunaan anggaran yang diterima. Sebagai pejabat yang diberi tanggung jawab untuk memajukan sepak bola daerah, mereka tidak boleh lepas tangan.
PSSI NTT perlu menjawab pertanyaan publik: kemana perginya dana tersebut? Jangan sampai masyarakat dan para atlet terus disuguhkan dengan janji kosong dan ketidakpedulian yang nyatanya hanya memperburuk keadaan.
Bahkan, jika ada yang merasa tidak nyaman dengan pertanyaan ini, mari kita cermati kembali makna dari anggaran yang diberikan oleh PSSI untuk setiap Asprov.
Bukankah anggaran tersebut untuk kepentingan bersama, bukan hanya untuk kepentingan segelintir orang di dalam organisasi? Bukankah tugas Asprov PSSI NTT adalah untuk memfasilitasi dan mendukung tim yang akan berkompetisi di tingkat nasional, seperti halnya Persebata yang tengah berjuang di Yogyakarta?
Krisis ini adalah bukti nyata bahwa pemerintah daerah dan Asprov PSSI NTT harus segera berbenah. Jangan sampai sepak bola NTT tenggelam dalam kesia-siaan dan ketidakpedulian. Para atlet muda ini pantas mendapatkan perhatian dan dukungan yang layak. Anggaran yang ada harus benar-benar dirasakan manfaatnya oleh mereka yang berjuang di lapangan, bukan hanya di meja-meja pertemuan. Waktunya untuk berhenti berpura-pura peduli dan memeriksa kembali aliran anggaran yang menghilang begitu saja.
Sungguh, jika tidak segera ada perubahan nyata, maka cita-cita untuk memajukan sepak bola NTT akan tetap menjadi impian kosong, hanya menunggu waktu untuk lenyap ditelan ketidakpedulian yang terus merajalela. Jangan biarkan sepak bola NTT terus merana karena ketidakjelasan dan kekuasaan yang tak berpihak pada mereka yang seharusnya menerima hasil dari jerih payah mereka. (*)