PENCURI kelas kakap, punya akal busuk, punya dalih agar terhindar dari jeratan hukum. Sangat jahat, kalau pencuri, baca koruptor, punya uang yang sangat banyak. Dengan uang si koruptor kakap bisa membeli apa saja yang dia mau, termasuk hakim. Para koruptor nasional, berhasil mengelabui masyarakat se dunia bahwa dirinya bersih walau sudah melakukan praktek jahat di dunia gelap.
Praktek agar terhindar dari jeratan hukum di simulasi Presiden kedua RI Soeharto yang terjerat kasus praktek gelapkan uang Negara di lebih dari 17 yayasan. Soeharto sukses tidak dapat di hadirkan ke meja hujau karena sakit. Yang aneh dan menjadi pertanyaan, Soaharto sakit, sejak kasusnya diangkat ke permukaan dan hendak diadili.
Sepanjang agenda sidang Soeharto memang terus sakit, sehingga ruang sidang yang sudah disiapkan di Departemen Pertanian Ragunan Jakarta, menjadi saksi bisu, karena ruang itu tidak pernah digunakan sebagai ruang sidang kasus Soeharto dan para kroninya. Hingga ajal menjemput, Soeharto tidak pernah hadir di ruang sidang. Sehingga kasus penyalahgunaan dana di sejumlah yayasan yang dibentuk semasa berkuasa tidak terkuak kepemermukaan sampai detik ini.
Kasus kelam ini, telah ditelan zaman. Sampai kapan? Entalah. Politik sakit, agar tidak dihadirkan ke meja hijau di lakoni pula Setya Novanto Ketua DPR RI. Setya dua kali mangkir dari panggilan KPK. Pertama kasus ‘papa minta saham’, Setya Novanto juga sakit ketika dipanggil KPK. Ketika, KPK memanggil Setya Novanto sebagai tersangka dalam kasus korupsi e-KTP yang merugikan keuangan Negara sekitar 2,3 triliun, Setya Novanto mendadak sakit. KPK tak bisa berbuat apa-apa ketika manusia sedang sakit. Jika harus dipanggil paksa, akan melanggar HAM.
Dan benar, ‘politik sakit’ yang dilakoni Setya Novanto sukses beriringan dengan sidang praperadilan kasus di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan. Di saat sidang berlangsung, Setya Novanto melalui orang-orangnya mengedar foto Setya Novanto di ranjang sakit yang dipenuhi kabel-kabel. Foto yang viral di media sosial itu menjadi viral di media sosial serta menuai kritik karena kabel-kabel itu tidak dicolokan sesuai aturan medis. Benar adanya, tersiar berita, setelah “Hakim Berhati Busuk Cepi Iskandar.” mengetuk palu dan mengatakan,” Penetarapan Setya Novanto sebagai tersangka tidak sah.” Maka, status tersangka Setya Novanto dinyatakan tidak sah.
Setya Novanto segera menghirup udara bebas. Orang sekitar Setya Novanto pun menebar berita hoax,” Setya Novanto sudah membaik dan pada Minggu 1 Oktober 2017, sebagian barang-barang Setya Novanto sudah dibawa ke rumahnya.”
Novanto bukan satu satunya pejabat negara yang menggugat KPK dalam praperadilan di PN Jaksel. Ada beberapa orang yang menggugat KPK atas penetapannya sebagai tersangka, yang akhirnya dimenangkan oleh hakim. Mereka ialah, Budi Gunawan. Kala itu, Komjen Budi Gunawan yang menjabat sebagai Kalemdikpol dijadikan tersangka KPK pada 12 Januari 2015. BG disangka melakukan korupsi dan pencucian uang. BG kemudian mengajukan gugatan praperadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Hakim Sarpin Rizaldi menjadi hakim tunggal yang menyidangkan praperadilan BG.
Dalam putusannya, Sarpin memenangkan gugatan Budi Gunawan. Sarpin menganggap penetapan Budi Gunawan sebagai tersangka tidak sah.
Kedua, Hadi Poernomo. Mantan Ketua BPK, Hadi Poernomo, memenangkan praperadilan melawan KPK di PN Jaksel, pada 26 Mei 2015. Hadi Poernomo ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus penerimaan permohonan keberatan pajak PT Bank Central Asia senilai Rp 375 miliar pada 21 April 2014.
Hadi yang tidak terima dijadikan tersangka lalu mengajukan praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Hakim Haswandi yang kala itu menjabat sebagai ketua PN Jaksel memenangkan gugatan Hadi Poernomo.
Ketiga, Ilham Arief Sirajuddin. Mantan Wali Kota Makassar, Ilham Arief Sirajuddin, mengalahkan KPK dalam sidang praperadilan di PN Jaksel pada 12 Mei 2015. Ilham ditetapkan KPK sebagai tersangka, atas kasus korupsi Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kota Makassar dengan kerugian negara mencapai Rp 38,1 miliar.
Keempat, Taufiqurahman, Bupati Nganjuk 2 periode, Taufiqurahman ditetapkan sebagai tersangka KPK di kasus korupsi sejumlah proyek di Kabupaten Nganjuk, pada 6 Desember 2016. Dia kemudian mengajukan gugatan praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Pada 3 Maret 2017 Hakim Wayan Karya memenangkan gugatan Taufiq dan menyetakan penyidikan KPK tidak sah. Masyarakat masih bertanya-tanya, ada apa dan mengapa hakim membatalkan penetapan tersangka dan mengapa harus di PN Jakarta Selatan?
Kemenangan Setya Novanto dalam kasus dugaan korupsi e-ktp tidak serta merta berdampak positif bagi citra Partai Golkar.
Bahkan sebaliknya rakyat menjadi benci terhadap partai tertua di negeri ini dan terhadap Setya Novanto sebagai Ketua Umum Partai Golkar itu. Menurut saya ini awal petaka dari Partai Golkar bahkan hasil survey melorot hingga tinggal 11 persen.
Citra buruk Golkar atas kemenangan praperadilan Novanto terjadi lantaran sejumlah kejanggalan yang muncul selama persidangan. Kejanggalan itu menciptakan persepsi negatif publik terhadap Novanto, misalnya Novanto dianggap mengankangi hukum demi memenangkan praperadilan.
Sekarang pengurus Partai Golkar harus pecah otak agar citra partai Golkar segera pulih. Sudah saatnya DPP Partai Golkar menggunakan hak konstitusionalnya, dengan segera menggelar Rapat Pleno yang agendanya adalah memberhentikan SN sebagai Ketua Umum, misalnya.
Kemenangan Novanto di sidang praperadilan juga tidak berarti meredakan ambisi lawan-lawan politik Novanto di Partai Golkar. Hal ini karena dalil penggulingan Novanto bukan saja soal penetapan tersangka dirinya dalam kasus e-KTP tapi juga kinerja partai di pilkada serentak 2018. Sestya Novanto sangat berpotensi digoyang bila suara Golkar mengalami penurunan dan capaian yang tak maksimal di pilkada serentak.
Lawan-lawan politik Novanto di internal Golkar cenderung lebih memilih membaca situasi ketimbang melakukan manuver politik yang serampangan. Sangat mungkin lawan politik Novanto kehilangan sikap kritis setelah mencapai kesepakatan-kesepakatan tertentu.
Hakim tunggal Cepi Iskandar, memutuskan penetapan Setya Novanto sebagai tersangka korupsi proyek Kartu Tanda Penduduk Elektronik (KTP-E) tidak sah, Jumat 29 September 2017. Ini dia suara Hakim Cepi Iskandar, ”Menyatakan penetapan tersangka Setya Novanto yang dibuat berdasarkan surat nomor 310/23/07/2017? tanggal 18 Juli dinyatakan tidak sah.”
“Politik Sakit “ sangat berbahaya bagi penegakan hukum di Indonesia. Kedua, ’Politik Sakit’ yang didalang Soeharto menjadi preseden buruk bagi generasi muda di negeri ini. Penjarahan keuangan Negara bisa saja kian menggila tanpa memikirkan nasib Negara dan rakyat Indonesia yang semakin terpuruk akibat kemiskinan dan kemelaratan. Orang, atau pejabat bisa saja melakukan korupsi karena ketika dicokok penegak hukum bisa menciptakan dalih sakit dan praperadilan.
Kaum koruptor nasional urat malu sudah tak ada, tidak punya empati terhadap persoalan rakyat dan Negara yang sedang tidak menentu. Rakyat dibuat miskin, bisa bisa diperdayakan. Saat rakyat dalam kesulitan, para pejabat jahat dan kotor melakukan gerylia. Dengan uang recehan dua puluhan ribu atau paling besar lima puluh ribu, rakyat tidak punya pilihan terpaksa memilih si pejabat busuk yang memberi uang. Rakyat selaku pemegang kedaulatan mesti waspada, waspada dan waspada. ♦
“Politik Sakit”
